Selasa, 15 Maret 2016

Romansa Kedai Kopi


Ini adalah sebuah cerita bertema cinta dan mengambil latar kedai kopi. Sudah tergambar begitu jelas dari judulnya. Tulisan ini adalah murni tentang romansa. Tidak ada misteri tersembunyi di dalamnya. Mungkin pernah terjadi, sebuah kisah cinta di kedai kopi yang berakhir tragedi. Namun tidaklah dengan ceritaku yang satu ini.
*****
“Masih layar kosong juga?”
Tepukan pada bahu mengagetkanku. Rupanya itu Bli Gde, membawakan gelas kopi keduaku. Kualihkan pandangan dari layar laptop.
“Iya, begitulah.” Kuhela nafas panjang.
“Kubilang juga apa. Kamu haruslah merasakan cinta, untuk bisa menulis sebuah cerita cinta.”
Entah berapa kali sudah Bli Gde mengucapkan kalimat itu. Awalnya kuanggap sekedar angin lalu. Sekedar ledekan untuk kemampuan menulisku. Namun, beberapa hari ini kurasakan kalau kalimat itu mulai masuk akal. Hampir dua minggu sudah layar laptopku kosong. Tidak ada satupun kalimat tertulis disana. Sedangkan deadline penumpulan tulisan sudah semakin dekat.  
“Apa Bli nggak ada kesibukan lain, selain gangguin aku?”
Kucoba mengalihkan pembicaraan. Tema cinta tidaklah begitu menarik untuk kubahas. Terutama dalam mood hati seperti saat ini.
Bli Gde nyengir kuda. “Kenapa aku musti sibuk? Kan disini aku bosnya.”
Aku hanya bisa melengos. Tidak ada yang bisa didebatkan dari pernyataannya itu. Kedai kopi tempatku berada kini memanglah miliknya. Kakak kandungku. Akhirnya kupilih menyeruput kopiku, ketimbang berdebat dengannya. Melihat itu cengiran Bli Gde semakin lebar. Dia lalu menggeser kursi, dan duduk disampingku.
“Kamu lihat cewek yang duduk disana. Coba deh kamu sapa dia.”
Dia menunjuk ke sebuah meja. Sebuah meja dipojok tenggara kedai, tepatnya. Hanya beberapa meter dari tempat kami berada. Kulihat memang ada seorang gadis duduk disana. Dia sendirian, tanpa teman. Tanpa ditunjuk Bli Gde pun sudah kusadari keberadaannya. Sudah beberapa kali kuperhatikan sosoknya. Malah bukan hanya hari ini. Kemarin gadis itu juga duduk ditempat yang sama. Dari kemarin gadis itu sudah mencuri perhatianku.
“Ke-kenapa aku harus menyapa dia?” tanyaku ragu.
“Serius, aku harus menjelaskannya padamu?” Bli Gde menekuk sedikit alisnya. Kuangkat bahu untuk menanggapinya. “Ya seperti yang sudah sering kukatakan. Untuk memberikan kesempatan dirimu merasakan sedikit cinta.” Nada suaranya terdengar bak seorang penyair.
Giliran aku menekuk alis. Kuhembuskan nafas setelahnya. “Entahlah Bli...”
Hayolah. Kamu disini sendirian, dia disana sendirian. Nggak ada yang menghalangimu untuk menyapa dia...” Bli Gde berhenti sejenak. Seorang pelanggan yang baru saja datang melambai kearahnya. Dibalasnya lambaian itu. “...Lagipula kakakmu ini nggak buta. Dari kemarin kulihat kamu mencuri-curi pandang ke cewek itu. Dia juga ngelakuin hal yang sama loh. Terus mau nunggu sampai kapan untuk sekedar tahu namanya?”
Lagi-lagi Bli Gde nyengir. Aku suka kesal setiap dia mengeluarkan cengiran itu. Kesal karena aku terlalu mudah dibaca oleh kakakku. Betapa pun aku berusaha menyembunyikannya. Kesal pula karena kerap digoda soal cinta. Namun, kutahu dia melakukan itu karena menyayangiku. Begitu pula orang lain, yang mungkin ‘lelah’ melihat kesendirianku.
Kuhela lagi nafas. Kali ini lebih panjang. “Sebegitu kelihatannya yah Bli?”
Bli Gde tersenyum, dan menganggukan kepala.
Yah, memang sih aku sedikit penasaran sama tuh cewek, tapi…”
“Tapi? Tapi apa?” tanya dia.
Aku bingung mencari jawabannya. Seakan tak ada kata yang dapat menggambarkan perasaanku. Akhirnya kuangkat bahuku lagi sebagai jawaban.
Hei, kelihatannya dia udah siap-siap mau pulang tuh. Sekarang atau tidak sama sekali...”
Lagi-lagi kali ini Bli Gde ada benarnya. Bisa jadi gadis itu tidak akan datang lagi besok. Bisa jadi pula ini kali terakhir aku akan melihatnya. Kepercayaan, dan ketidakpercayaan berkecambuk dalam diri. Gejolak pikiran membebani tubuh. Tubuhku jadi terasa berat untuk beranjak. Sibuk dengan diriku sendiri, sosok si gadis sudah hilang dari balik pintu. Sosok cantik itu lenyap dari pandangan. Dan kurasakan dua kali tepukan dipundakku.
“Ini saran aja yah. Lain kali, janganlah kebanyakan berpikir.”
Sepertinya itu adalah saran yang bagus, sesalku. Seandainya aku menyadari itu lebih awal.
*****
Hari berikutnya. Gadis itu tidak ada disana. Mataku hanya menatap meja tak bertuan. Bergantian orang mengisi meja itu, namun bukanlah sosok yang kutunggu. Sesal yang kemarin kurasa, kini semakin menyiksa. Beberapa kali tatapan, rupanya cukup menggugah rasa penasaran. Demikian pun sehari setelahnya, dan sehari lagi setelahnya. Beberapa kali meja itu bertuan, namun bukan oleh sosok yang kunantikan. Tidak terasa satu minggu telah berlalu. Dan aku masih tetap saja menunggu. Entah yang kutunggu memang layak untuk ditunggu.
Disini aku terduduk dalam penyesalan. Layar laptop masih sama seperti terakhir kutinggalkan. Kosong tanpa tulisan. Mungkin memang benar adanya. Aku memang butuh merasakan sedikit cinta. Sayangnya, mungkin cinta itu pernah ada didepan mata. Hanya aku saja yang membuang kesempatan yang ada.
*****
Hari itu, tetap saja aku mampir ke kedai kopi Bli Gde. Aku tahu hasilnya akan tetap sama. Meja itu akan tetap seperti adanya. Tetap tidak akan ada gadis itu disana. Aku tahu penantianku akan kembali sia-sia. Penantian atau kerinduan, entah apalah namanya. Hanya saja, hari itu kurasakan sedikit berbeda. Ada dorongan perasaan yang kuat untuk datang kesana.
Terasa aneh memang. Merindukan seseorang yang bahkan tidak kamu kenal. Dan seperti telah kuduga semula. Tidak ada siapa-siapa di meja pojok tenggara. Kucoba membayangkan gadis itu duduk disana. Tersenyum aku dibuatnya. Cara itu berhasil ternyata. Jari-jariku mulai bergerak lincah pada keyboard. Beberapa kalimat mulai bermunculan. Kubiarkan saja imaji keluar secara alami. Apakah rangkaian kalimat itu memiliki makna, bukan itulah tujuan utama.
Segelas kopi sudah habis tak tersisa. Gelas kedua kini tinggal setengahnya. Pada suatu momen, gemerincing suara pintu mengalihkan pandanganku. Pertanda kalau ada pelanggan yang datang. Tidak biasanya suara itu menarik perhatianku. Diluar sana hujan turun cukup deras. Ini membuat suasana kedai menjadi sunyi. Hanya ada tiga orang didalam, termasuk diriku. Saat pandanganku tertuju ke pintu, terkejutlah aku. Kukedipkan beberapa kali mataku. Seakan tidak mempercayai apa yang sedang kupandangi saat itu. Seorang gadis datang berbaju biru. Dia adalah sosok cantik yang selama ini kutunggu.
Langsung kuberdiri, dan bergegas menuju meja kasir. Disana duduk Bli Gde.
“Dia datang lagi, dia datang lagi...” ucapku sumringah.
Bli Gde menoleh kearah yang kutunjuk. “Iya, aku bisa melihat itu.”
“Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?”
“Entahlah. Datang kesana dan langsung sapa dia mungkin...”
Bli Gde tersenyum melihat tingkahku. Semangat dicampur kekikukan dan kebingungan, memang cenderung berakhir kekonyolan. Kakakku tahu kalau aku sudah lama menunggu gadis itu. Dia pastilah juga tahu gejolak perasaan yang kini kurasakan.
Nggak mungkin dong aku datang kesana tiba-tiba. Nanti kalau dia malah salah sangka gimana? Nanti kalau dia malah merasa keganggu gimana?”
Bli Gde mengangkat bahunya. “Bagaimana kamu bisa tahu kalau belum mencoba?”
Ditengah kebingungan, kulihat waitress yang tadi berbicara dengan gadis itu. Dia membawa nampan berisi segelas kopi. Kuhentikan saat waitress itu lewat disampingku. Kutanya apakah kopi itu pesanan gadis yang baru datang. Dia mengangguk. Dan kutemukan sebuah jalan untuk mengawali sebuah pembicaraan.
“Biar aku aja yang bawa ya,” tawarku pada waitress itu.
Dia terlihat ragu memberikan jawaban. Waitress itu lalu menoleh ke Bli Gde, seolah meminta persetujuan. Bli Gde mengangguk padanya. Dia pun menyerahkan nampan yang dipegangnya padaku. Kuhembuskan nafas panjang. Kulirik sekali lagi Bli Gde. Kakakku itu memberi isyarat tangan agar aku segera berjalan.
Kakiku akhirnya melangkah. Semakin aku mendekati gadis itu, semakin berat kurasa langkahku. Keraguan mulai menggoyah keyakinan hatiku. Keyakinan yang sempat membara beberapa menit lalu. Ingin rasanya kubalik badan, dan membatalkan niatku. Namun kalau itu kulakukan, entah kapan akan ada lagi kesempatan. Nafas panjang lagi kuhembuskan. Kembali kuyakinkan diri untuk lanjut berjalan.
“Maaf, pesan kopi capuccino?” Berusaha kuucapkan kalimat itu sesopan mungkin. Mengingat aku tidak ada pengalaman melayani sebelumnya.
Gadis itu menoleh kearahku, dan tersenyum. Yes, kudapatkan perhatiannya.
“Iya,” sahutnya singkat.
Kuletakkan gelas kopi diatas meja. Kuletakkan pula perlengkapan lain disana.
Makasi ya,” lanjut gadis itu sambil tersenyum. Dia terlihat lebih cantik kalau dilihat sedekat ini, kagumku. Apalagi ditambah senyuman itu.
Gadis itu mengalihkan lagi pandangannya ke layar laptop. Aduh cuma segitu doang, runtukku dalam hati. Harus kucari cara lain untuk menarik kembali perhatiannya. Otakku langsung bekerja keras. Memikirkan semua kemungkinan yang ada. Tidak mau kalau usahaku berujung sia-sia.  
“Kamu penulis?” pancingku.
Gadis itu menoleh lagi kepadaku. “Maaf, tadi nanya apa ya? Aku nggak jelas dengarnya.”
“Oh nggak apa-apa sih. Maaf ya, aku cuma tadi ngeliat dikit tulisan kamu di laptop. Mirip novel gitu, makanya tadi aku nanya apa kamu ini penulis?”
Dia tersenyum. Sekali lagi, senyuman yang cantik sekali. Semakin terpesona aku dibuatnya.
“Oh bukan, ini tugas kampus kok. Resensi Novel.”
“Jurusan sastra ya?”
“Iya,” sahutnya singkat. Kulihat sedikit keningnya berkerut, sebelum lanjut berbicara. “Hhmm, kamu bukan waiter disini ya? Belum pernah aku liat kamu sebelumnya.”
Dueer, aku tersentak. Benar-benar aku tidak ada bakat bersandiwara. Akting semudah ini saja sampai ketahuan bohongnya. Kuyakin wajahku pasti memerah saat itu. Semoga saja tidak cukup merah untuk sampai ketahuan. Itu tentulah akan sangat memalukan. Entah apakah kekikukan terlihat jelas pula diwajahku, atau tidak. Yang jelas itulah yang kurasakan saat itu. Untuk sesaat bibirku terasa terkunci.
“I-iya sih. A-aku pelanggan kedai ini juga. Tadi aku sempet kebelakang minta ijin buat bawain pesanan kamu, biar bisa ngomong sama kamu...”
Ya Tuhan, runtukku dalam hati lagi. Haruskah diungkapkan sejujur itu. Kenapa tidak sekalian saja bilang ‘aku suka kamu, mau nggak jadi pacarku’. Ingin rasanya kutoyor kepalaku ini dengan kopi. Atas kebodohan yang baru saja kulakukan. Beruntung tidak terlihat emosi apa pun diwajah cantik gadis itu. Karena selanjutnya dia hanya menanggapi dengan, “Oh”. Iya, dengan satu kata itu saja. Bahkan dalam kamus bahasa Indonesia, ‘Oh’ itu bukanlah sebuah kata.
“...Tapi tenang aja, kopinya nggak aku apa-apain kok. Kalau nggak percaya kita bisa bagi dua.”
DUEER! Dan aku sukses membuat suasana jadi makin canggung. Kali ini, ingin kupukul kepala dengan nampan. Bagaimana otakku bisa meloloskan kata-kata itu. Aku sendiri tidak habis pikir. Namun kecanggungan mereda, saat kulihat gadis itu tertawa. Tertawa geli, tepatnya. Kini justru aku yang terlihat bingung. Entah kelucuan apa yang dilihatnya dari kalimatku tadi.
“Boleh juga idemu, kalau gitu kopi ini kita bagi dua aja,” ucapnya setelah selesai tertawa.
Oke, kalau gitu aku ambil gelas lagi.”
Begitu aku hendak beranjak, gadis itu menyambar tanganku. Gerakanku terhenti.
Hei, aku becanda kali...” Dan dia pun tertawa lagi.
Sumpah, itu adalah momen paling memalukan dalam hidupku. Oke, mungkin kedua setelah aku tercebur got depan sekolah. Mungkin wajahku tidak lagi memerah. Mungkin kini berdegradasi jadi jingga, atau ungu tua. Ingin kututupi wajahku dengan nampan. Hanya saja, kalau kulakukan itu akan menjadi kekonyolan berikutnya. Sudah cukup kupermalukan diriku didepan gadis yang kusuka. Ya Tuhan apa yang terjadi denganku, runtukku untuk kesekian kali.
Tawa gadis itu perlahan berubah menjadi senyuman. Aku ikut tersenyum. Paling tidak hanya itu yang bisa kulakukan, ditengah kecanggungan.
“Memang kamu mau ngomongin soal apa ke aku?”
Nah, itu pertanyaan yang belum kupersiapkan jawabannya. Masuk akal juga ya, pikirku. Hampir seminggu lebih sudah kupikirkan dirinya. Seminggu lebih pula kupendam keinginan bertemu. Sampai-sampai aku lupa memikirkan apa yang akan kubicarakan, bila bertemu nanti. Otakku pun kembali bekerja keras. Memikirkan sebuah jawaban yang kira-kira pas.
Akhirnya sebuah ide muncul dari otakku. “Ka-kamu jurusan sastra kan?”
“Iya, terus?”
“Aku punya tulisan nih. Tulisan iseng aja sih. Kamu mau baca nggak? Nanti kamu tolong ngasih penilaian dari sudut pandang sastra. Gimana?”
Dia tersenyum lagi. “Boleh. Mana?”
Aku pun bergegas menuju mejaku tadi. Kuambil laptop, dan kembali ke meja gadis itu. Disana kubiarkan dia membaca tulisanku. Tulisan asal yang baru saja kutulis beberapa jam lalu. Tulisan yang kubuat sambil membayangkan sosoknya. Semoga dia tidak menyadari hal itu, harapku. Kulihat dia cukup serius membaca.
Sehabis membaca, gadis itu mulai memberi komentarnya. Kudengar setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Sambil memperhatikan sosok cantiknya, tentunya. Dia memberikan masukkan tentang pemilihan judul, menyusun alur, penokohan dan lainnya. Kagum aku mendengarnya. Ternyata dia cukup cerdas. Penjelasannya detail. Seandainya dosenku seperti dia, mungkin aku akan masuk kelas lebih sering. Sebagai penulis otodidak, tentu penjelasan itu sangat membantu. Bahkan dia berkata akan meminjamkan sebuah novel untuk kubaca. Katanya novel itu sesuai dengan gaya penulisanku. Paling tidak menurutnya itu bisa jadi referensi buatku. Sesuatu yang tidak mungkin kutolak, pastinya.
Tidak hanya soal tulis menulis. Percakapan kami terus meluas ke berbagai tema. Selain cerdas, gadis itu juga memiliki pengetahuan luas. Berbagai topik kami bicarakan, termasuk soal politik. Sesuatu yang tidak pernah suka untuk kubahas. Namun, bersama dia semua tema itu menjadi menarik untuk dibicarakan. Entah karena cara dia berbicara, atau karena aku merasa nyaman bersama dirinya. Kulihat dia pun merasakan yang sama. Paling tidak dari sudut pandangku.
Tanpa kami sadari hujan telah reda, dan hari sudah menjelang malam.
“Sudah malam, sepertinya aku harus pulang.”
“Oh iya,” ucapku sambil tersenyum. “Kamu datang lagi besok?”
“Iya, kenapa?”
Nggak apa-apa sih. Soalnya terakhir kali aku ngeliat kamu datang kesini udah lama banget.” Kucoba menutupi kalau aku merindukan kehadirannya.
“Aku lama nggak kesini, soalnya ada Pekan Seni dan Sastra di kampus. Aku ikut bantu-bantu disana. Kasihan padahal voucher kopiku jadi hangus. Untung kemarin ketemu Bli Gde di Pekan Seni, eh aku dikasi voucher kopi lagi.”
Voucher kopi?”
“Iya, voucher buat gratis minum kopi disini. Aku masih ada, kamu mau?”
“Ma-makasi. Buat besok aja deh, toh besok kita ketemu lagi.”
Sengaja tidak kuperpanjang masalah voucher kopi ini. Padahal masih ada tanda tanya dalam hatiku. Setahuku kedai Bli Gde tidak pernah mengeluarkan voucher macam itu. Kupandangi Bli Gde di meja kasir. Kulihat dia juga memperhatikan aku. Dia malah mengacungkan dua jempol padaku. Harus kubahas masalah voucher ini dengannya nanti.
Kulihat gadis itu sudah selesai berbenah. Kini didepan kami hanya ada laptopku, dan empat gelas bekas kopi. Dia sudah hendak beranjak dari kursi.
“Oya, namamu siapa? Kita belum berkenalan tadi.”
Kusodorkan tanganku, dan dia menyambutnya. Kami berjabat tangan.
“Aku Lastri.”
“Aku Indra.”
“Iya, aku sudah tahu...”
Perlu beberapa detik buatku mencerna perkataannya tadi. “Ka-kamu sudah tahu namaku?”
“I-iya. Bli Gde sudah cerita tentang kamu...” Lagi-lagi perkataannya membuatku bingung. Dahi gadis itu berkernyit. Mungkin bisa dilihatnya kebingungan itu diwajahku. “...Oh, Bli Gde belum cerita tentang aku ke kamu ya?”
Kugelengkan kepala. Gadis itu kini tersenyum penuh arti. Dia lalu berdiri dari kursi.
“Kalau gitu kamu tanya sendiri aja deh langsung ke Bli Gde.” Lagi dia tersenyum. Kemudian dia melambaikan tangan, dan mulai beranjak. “Sampai besok...”
“Oke, sampai besok. Jangan lupa novelnya...” balasku sedikit berteriak.
Gadis itu membalas balik dengan anggukan. Disertai senyuman lagi, tentunya. Dan sosoknya pun menghilang dibalik pintu. Kutatap lagi kakakku dikejauhan sana. Lagi-lagi diacungkannya dua jempol kearahku. Benar-benar harus kubahas masalah Lastri ini dengannya.
Aku beranjak dari meja, dan berjalan kearahnya.
“Bagaimana ngobrol-nya? Lancar?” Wajah Bli Gde terlihat sumringah.
Tidak kujawab pertanyaan itu. Justru kemudian kuajukan pertanyaan balik padanya. “Voucher kopi ah? Sejak kapan kedai ini ngasi voucher kopi ke pelanggan?”
Mendengar pertanyaanku itu, kulihat kakakku mulai salah tingkah. Hanya terdengar ungkapan ‘Oh’ dari mulutnya. Kita sebut saja ‘Oh’ ini dengan ungkapan, karena jelas itu bukanlah kata.
Melihat tidak adanya tanggapan, kulanjutkan lagi kalimatku. “Terus bagaimana cewek bernama Lastri itu bisa tahu namaku? Padahal aku saja tidak tahu namanya? Sepertinya ada yang sedikit aneh disini. Ada yang Bli perlu jelaskan?”
Kutatap mata Bli Gde dengan tajam. Dia masih terlihat salah tingkah.
Oke, oke. Kuceritakan semuanya padamu sekarang...” Bli Gde lalu berdehem. “...Kamu ingat teman dari temanku yang mau aku kenalin ke kamu? Teman dari temanku yang terus kamu tolak untuk ketemu? Teman dari temanku itu, iya dia si Lastri. Daripada capek ngajakin kamu ketemu sama Lastri, mending aku ‘undang’ saja dia kesini pakai voucher kopi. Modal coreldraw doang tapi berhasil kan?” Bli Gde nyengir.
Aku terdiam sejenak. Coba kucerna cerita Bli Gde tadi. Sebuah kebohongan demi kebaikan. Itu istilah pembenar yang dipakai Bli Gde atas perbuatannya. Kesal memang mendengarnya, namun harus kuakui apa yang dilakukannya cukup cerdik.
“Terus kapan Bli menceritakan tentang aku ke dia?”
“Kemarin, waktu ada pergelaran seni dikampusnya. Bukan aku yang mulai, tapi dia yang nanya duluan. Dia nanya tentang cowok yang biasa duduk didekat meja kasir. Saat kupancing, ternyata dia mengaku kalau dia sedikit penasaran. Nah, langsung saja kuberitahu semuanya ke dia. Tanpa bilang kalau kamu ini adikku, tentunya...” Bli Gde kembali berdehem. “...Sebagai catatan, kalau cewek bilang sedikit penasaran, itu berarti ada rasa.”
Dan kulihat lagi cengiran kakakku itu.
“Kalau memang dia merhatiin, terus kenapa dia diem-diem aja ya selama dua hari itu?”
Mendengar itu, Bli Gde mentoyor jidatku. Aku meringis.
Hello, dia itu cewek tau. Wajar dong dia nunggu reaksi kamu sebagai cowok. Dimana-mana cowoklah yang harus memulai duluan.”
Sialan. Terkutuklah siapa pun dia yang membuat konsep ‘cowok musti mulai duluan’, di dunia percintaan. Kuharap dia membusuk di neraka. Maaf, kalau bahasaku terlalu kasar. Ini hanyalah semata ungkapan kekesalan. Konsep inilah yang selalu menghantui kami, para cowok-cowok pemalu. Termasuk aku tentunya. Beberapa kali aku kehilangan cinta karena konsep sialan ini. Untungnya, kesempatan kali ini kemauanku mengalahkan kemaluanku. Entah karena memang berjodoh, atau sudah belajar dari kegagalan sebelumnya. Kegagalan yang mengajarkan aku menjadi tangguh. Menjadi pejantan tangguh. Meminjam istilahnya Sheila On 7 nih.
“Terus sekarang bagaimana?”
Bli Gde memandangku tajam. Sepertinya dia menanti jawaban berupa sebuah kepastian. Tentu saja tidak bisa kuberikan. Harus kutunggu bagaimana Lastri memandang diriku. Aku sadar cinta itu perlu waktu. Aku sadar pula cinta tidak bisa datang sendiri. Cinta adalah persoalan dua hati.
“Nggak tahu deh Bli. Kita lihat saja besok, besok, dan besoknya lagi.”
“Tetap semangat...”
Dua jempol Bli Gde kembali mengacung. Dan aku pun hanya tersenyum.
*****
“Hei, akhirnya kalian datang juga!”
Bli Gde memelukku, lalu menyusul Lastri. Kami datang bersama memenuhi undangan Bli Gde. Undangan peresmian cabang kedai kopi barunya. Prestasi tersendiri untuk sebuah kedai kopi lokal. Kedai kopi yang dirintis Bli Gde bersama sang istri, sejak berpacaran dulu. Aku kagum benar dengan kemesraan keduanya.
“Jadi bagaimana perkembangan kalian?” Bli Gde berujar, sambil menatap istrinya dan Lastri yang sedang meracik minuman.
“Lumayan Bli. Kalau tidak ada halangan, mungkin akhir tahun kami menikah.”
Bli Gde langsung menepuk bahuku. Dia tersenyum, dan aku membalasnya.
“Bagus itu, bagus sekali.” Diacungkannya dua jempol. “Terus bagaimana soal tulisanmu?”
“Sudah di penerbit, sepertinya sih tinggal nunggu proses editing terus bisa naik cetak.”
“Bagus, bagus. Tidak salah kan saranku? Yang kamu butuhkan hanya sedikit cinta.”
Aku tertawa dan mengangguk. Telah kuakui kebenaran perkataan Bli Gde itu. Malah, seharusnya kuturuti perkataan itu lebih awal. Namun tetap kusyukuri. Mungkin inilah cerita yang ditulis Tuhan untukku. Aku selalu yakin kalau Tuhan itu adalah seorang penulis. Dia menulis sebuah cerita untuk setiap ciptaan-Nya. Kita adalah tokoh utama dari cerita kita masing-masing. Bahkan aku yang seorang penulis, terkadang kagum dengan cerita yang ditulis-Nya. Termasuk cerita yang ditulis-Nya untukku, tentunya.
“Oya, apa judul tulisanmu itu?”
“Romansa Kedai Kopi...” Aku tersenyum kecil. Kulanjutkan kalimatku, sebelum Bli Gde sempat berkomentar. “...Dan jangan tanya siapa nama pemilik kedai kopinya.”
Kami berdua lalu tertawa bersamaan. Tertawa sangat lebar. Sampai-sampai seisi ruangan heran menatap kami. Begitu pula dua wanita spesial di hidup kami masing-masing.
.
Tanjung Bungkak, Maret 2016



*) Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar