Ini adalah sebuah cerita
bertema cinta dan mengambil latar kedai kopi. Sudah tergambar begitu jelas dari
judulnya. Tulisan ini adalah murni tentang romansa. Tidak ada misteri tersembunyi
di dalamnya. Mungkin pernah terjadi, sebuah kisah cinta di kedai kopi yang
berakhir tragedi. Namun tidaklah dengan ceritaku yang satu ini.
*****
“Masih layar
kosong juga?”
Tepukan pada bahu
mengagetkanku. Rupanya itu Bli Gde, membawakan gelas kopi keduaku. Kualihkan pandangan
dari layar laptop.
“Iya,
begitulah.” Kuhela nafas panjang.
“Kubilang juga
apa. Kamu haruslah merasakan cinta, untuk bisa menulis sebuah cerita cinta.”
Entah berapa
kali sudah Bli Gde mengucapkan kalimat itu. Awalnya kuanggap sekedar angin
lalu. Sekedar ledekan untuk kemampuan menulisku. Namun, beberapa hari ini
kurasakan kalau kalimat itu mulai masuk akal. Hampir dua minggu sudah layar
laptopku kosong. Tidak ada satupun kalimat tertulis disana. Sedangkan deadline penumpulan tulisan sudah
semakin dekat.
“Apa Bli nggak ada kesibukan lain, selain gangguin
aku?”
Kucoba
mengalihkan pembicaraan. Tema cinta tidaklah begitu menarik untuk kubahas.
Terutama dalam mood hati seperti saat
ini.
Bli Gde nyengir
kuda. “Kenapa aku musti sibuk? Kan disini aku bosnya.”
Aku hanya bisa melengos.
Tidak ada yang bisa didebatkan dari pernyataannya itu. Kedai kopi tempatku berada
kini memanglah miliknya. Kakak kandungku. Akhirnya kupilih menyeruput kopiku, ketimbang
berdebat dengannya. Melihat itu cengiran Bli Gde semakin lebar. Dia lalu
menggeser kursi, dan duduk disampingku.
“Kamu lihat
cewek yang duduk disana. Coba deh kamu sapa dia.”
Dia menunjuk ke sebuah
meja. Sebuah meja dipojok tenggara kedai, tepatnya. Hanya beberapa meter dari
tempat kami berada. Kulihat memang ada seorang gadis duduk disana. Dia sendirian,
tanpa teman. Tanpa ditunjuk Bli Gde pun sudah kusadari keberadaannya. Sudah
beberapa kali kuperhatikan sosoknya. Malah bukan hanya hari ini. Kemarin gadis
itu juga duduk ditempat yang sama. Dari kemarin gadis itu sudah mencuri
perhatianku.
“Ke-kenapa aku
harus menyapa dia?” tanyaku ragu.
“Serius, aku
harus menjelaskannya padamu?” Bli Gde menekuk sedikit alisnya. Kuangkat bahu
untuk menanggapinya. “Ya seperti yang sudah sering kukatakan. Untuk memberikan
kesempatan dirimu merasakan sedikit cinta.” Nada suaranya terdengar bak seorang
penyair.
Giliran aku
menekuk alis. Kuhembuskan nafas setelahnya. “Entahlah Bli...”
“Hayolah. Kamu disini sendirian, dia
disana sendirian. Nggak ada yang menghalangimu
untuk menyapa dia...” Bli Gde berhenti sejenak. Seorang pelanggan yang baru
saja datang melambai kearahnya. Dibalasnya lambaian itu. “...Lagipula kakakmu
ini nggak buta. Dari kemarin kulihat
kamu mencuri-curi pandang ke cewek itu. Dia juga ngelakuin hal yang sama loh.
Terus mau nunggu sampai kapan untuk
sekedar tahu namanya?”
Lagi-lagi Bli
Gde nyengir. Aku suka kesal setiap dia mengeluarkan cengiran itu. Kesal karena aku
terlalu mudah dibaca oleh kakakku. Betapa pun aku berusaha menyembunyikannya. Kesal
pula karena kerap digoda soal cinta. Namun, kutahu dia melakukan itu karena
menyayangiku. Begitu pula orang lain, yang mungkin ‘lelah’ melihat
kesendirianku.
Kuhela lagi
nafas. Kali ini lebih panjang. “Sebegitu kelihatannya yah Bli?”
Bli Gde
tersenyum, dan menganggukan kepala.
“Yah, memang sih aku sedikit penasaran
sama tuh cewek, tapi…”
“Tapi? Tapi
apa?” tanya dia.
Aku bingung
mencari jawabannya. Seakan tak ada kata yang dapat menggambarkan perasaanku. Akhirnya
kuangkat bahuku lagi sebagai jawaban.
“Hei, kelihatannya dia udah siap-siap mau
pulang tuh. Sekarang atau tidak sama
sekali...”
Lagi-lagi kali
ini Bli Gde ada benarnya. Bisa jadi gadis itu tidak akan datang lagi besok. Bisa
jadi pula ini kali terakhir aku akan melihatnya. Kepercayaan, dan
ketidakpercayaan berkecambuk dalam diri. Gejolak pikiran membebani tubuh. Tubuhku
jadi terasa berat untuk beranjak. Sibuk dengan diriku sendiri, sosok si gadis sudah
hilang dari balik pintu. Sosok cantik itu lenyap dari pandangan. Dan kurasakan dua
kali tepukan dipundakku.
“Ini saran aja yah. Lain kali, janganlah kebanyakan
berpikir.”
Sepertinya itu
adalah saran yang bagus, sesalku. Seandainya aku menyadari itu lebih awal.
*****
Hari berikutnya.
Gadis itu tidak ada disana. Mataku hanya menatap meja tak bertuan. Bergantian
orang mengisi meja itu, namun bukanlah sosok yang kutunggu. Sesal yang kemarin
kurasa, kini semakin menyiksa. Beberapa kali tatapan, rupanya cukup menggugah
rasa penasaran. Demikian pun sehari setelahnya, dan sehari lagi setelahnya. Beberapa
kali meja itu bertuan, namun bukan oleh sosok yang kunantikan. Tidak terasa satu
minggu telah berlalu. Dan aku masih tetap saja menunggu. Entah yang kutunggu
memang layak untuk ditunggu.
Disini aku
terduduk dalam penyesalan. Layar laptop masih sama seperti terakhir
kutinggalkan. Kosong tanpa tulisan. Mungkin memang benar adanya. Aku memang
butuh merasakan sedikit cinta. Sayangnya, mungkin cinta itu pernah ada didepan mata.
Hanya aku saja yang membuang kesempatan yang ada.
*****
Hari itu, tetap
saja aku mampir ke kedai kopi Bli Gde. Aku tahu hasilnya akan tetap sama. Meja
itu akan tetap seperti adanya. Tetap tidak akan ada gadis itu disana. Aku tahu
penantianku akan kembali sia-sia. Penantian atau kerinduan, entah apalah
namanya. Hanya saja, hari itu kurasakan sedikit berbeda. Ada dorongan perasaan
yang kuat untuk datang kesana.
Terasa aneh
memang. Merindukan seseorang yang bahkan tidak kamu kenal. Dan seperti telah
kuduga semula. Tidak ada siapa-siapa di meja pojok tenggara. Kucoba membayangkan
gadis itu duduk disana. Tersenyum aku dibuatnya. Cara itu berhasil ternyata.
Jari-jariku mulai bergerak lincah pada keyboard.
Beberapa kalimat mulai bermunculan. Kubiarkan saja imaji keluar secara alami. Apakah
rangkaian kalimat itu memiliki makna, bukan itulah tujuan utama.
Segelas kopi
sudah habis tak tersisa. Gelas kedua kini tinggal setengahnya. Pada suatu
momen, gemerincing suara pintu mengalihkan pandanganku. Pertanda kalau ada
pelanggan yang datang. Tidak biasanya suara itu menarik perhatianku. Diluar
sana hujan turun cukup deras. Ini membuat suasana kedai menjadi sunyi. Hanya
ada tiga orang didalam, termasuk diriku. Saat pandanganku tertuju ke pintu,
terkejutlah aku. Kukedipkan beberapa kali mataku. Seakan tidak mempercayai apa yang
sedang kupandangi saat itu. Seorang gadis datang berbaju biru. Dia adalah sosok
cantik yang selama ini kutunggu.
Langsung
kuberdiri, dan bergegas menuju meja kasir. Disana duduk Bli Gde.
“Dia datang
lagi, dia datang lagi...” ucapku sumringah.
Bli Gde menoleh
kearah yang kutunjuk. “Iya, aku bisa melihat itu.”
“Apa yang harus
kulakukan? Apa yang harus kulakukan?”
“Entahlah.
Datang kesana dan langsung sapa dia mungkin...”
Bli Gde tersenyum
melihat tingkahku. Semangat dicampur kekikukan dan kebingungan, memang
cenderung berakhir kekonyolan. Kakakku tahu kalau aku sudah lama menunggu gadis
itu. Dia pastilah juga tahu gejolak perasaan yang kini kurasakan.
“Nggak mungkin dong aku datang kesana tiba-tiba.
Nanti kalau dia malah salah sangka gimana?
Nanti kalau dia malah merasa keganggu gimana?”
Bli Gde
mengangkat bahunya. “Bagaimana kamu bisa tahu kalau belum mencoba?”
Ditengah
kebingungan, kulihat waitress yang
tadi berbicara dengan gadis itu. Dia membawa nampan berisi segelas kopi. Kuhentikan
saat waitress itu lewat disampingku.
Kutanya apakah kopi itu pesanan gadis yang baru datang. Dia mengangguk. Dan
kutemukan sebuah jalan untuk mengawali sebuah pembicaraan.
“Biar aku aja yang bawa ya,” tawarku pada waitress itu.
Dia terlihat
ragu memberikan jawaban. Waitress itu
lalu menoleh ke Bli Gde, seolah meminta persetujuan. Bli Gde mengangguk padanya.
Dia pun menyerahkan nampan yang dipegangnya padaku. Kuhembuskan nafas panjang.
Kulirik sekali lagi Bli Gde. Kakakku itu memberi isyarat tangan agar aku segera
berjalan.
Kakiku akhirnya
melangkah. Semakin aku mendekati gadis itu, semakin berat kurasa langkahku.
Keraguan mulai menggoyah keyakinan hatiku. Keyakinan yang sempat membara
beberapa menit lalu. Ingin rasanya kubalik badan, dan membatalkan niatku. Namun
kalau itu kulakukan, entah kapan akan ada lagi kesempatan. Nafas panjang lagi kuhembuskan.
Kembali kuyakinkan diri untuk lanjut berjalan.
“Maaf, pesan
kopi capuccino?” Berusaha kuucapkan
kalimat itu sesopan mungkin. Mengingat aku tidak ada pengalaman melayani
sebelumnya.
Gadis itu
menoleh kearahku, dan tersenyum. Yes,
kudapatkan perhatiannya.
“Iya,” sahutnya
singkat.
Kuletakkan gelas
kopi diatas meja. Kuletakkan pula perlengkapan lain disana.
“Makasi ya,” lanjut gadis itu sambil
tersenyum. Dia terlihat lebih cantik kalau dilihat sedekat ini, kagumku.
Apalagi ditambah senyuman itu.
Gadis itu
mengalihkan lagi pandangannya ke layar laptop. Aduh cuma segitu doang, runtukku
dalam hati. Harus kucari cara lain untuk menarik kembali perhatiannya. Otakku langsung
bekerja keras. Memikirkan semua kemungkinan yang ada. Tidak mau kalau usahaku
berujung sia-sia.
“Kamu penulis?”
pancingku.
Gadis itu
menoleh lagi kepadaku. “Maaf, tadi nanya apa ya? Aku nggak jelas dengarnya.”
“Oh nggak apa-apa sih. Maaf ya, aku cuma tadi
ngeliat dikit tulisan kamu di laptop.
Mirip novel gitu, makanya tadi aku nanya apa kamu ini penulis?”
Dia tersenyum. Sekali
lagi, senyuman yang cantik sekali. Semakin terpesona aku dibuatnya.
“Oh bukan, ini
tugas kampus kok. Resensi Novel.”
“Jurusan sastra
ya?”
“Iya,” sahutnya
singkat. Kulihat sedikit keningnya berkerut, sebelum lanjut berbicara. “Hhmm, kamu bukan waiter disini ya? Belum pernah aku liat kamu sebelumnya.”
Dueer, aku tersentak. Benar-benar aku tidak
ada bakat bersandiwara. Akting semudah ini saja sampai ketahuan bohongnya. Kuyakin
wajahku pasti memerah saat itu. Semoga saja tidak cukup merah untuk sampai ketahuan.
Itu tentulah akan sangat memalukan. Entah apakah kekikukan terlihat jelas pula diwajahku,
atau tidak. Yang jelas itulah yang kurasakan saat itu. Untuk sesaat bibirku terasa
terkunci.
“I-iya sih. A-aku
pelanggan kedai ini juga. Tadi aku sempet kebelakang minta ijin buat bawain
pesanan kamu, biar bisa ngomong sama kamu...”
Ya Tuhan,
runtukku dalam hati lagi. Haruskah diungkapkan sejujur itu. Kenapa tidak
sekalian saja bilang ‘aku suka kamu, mau nggak
jadi pacarku’. Ingin rasanya kutoyor kepalaku ini dengan kopi. Atas
kebodohan yang baru saja kulakukan. Beruntung tidak terlihat emosi apa pun
diwajah cantik gadis itu. Karena selanjutnya dia hanya menanggapi dengan, “Oh”. Iya, dengan satu kata itu saja.
Bahkan dalam kamus bahasa Indonesia, ‘Oh’
itu bukanlah sebuah kata.
“...Tapi tenang
aja, kopinya nggak aku apa-apain kok. Kalau nggak
percaya kita bisa bagi dua.”
DUEER! Dan aku sukses membuat suasana jadi
makin canggung. Kali ini, ingin kupukul kepala dengan nampan. Bagaimana otakku bisa
meloloskan kata-kata itu. Aku sendiri tidak habis pikir. Namun kecanggungan mereda,
saat kulihat gadis itu tertawa. Tertawa geli, tepatnya. Kini justru aku yang
terlihat bingung. Entah kelucuan apa yang dilihatnya dari kalimatku tadi.
“Boleh juga
idemu, kalau gitu kopi ini kita bagi
dua aja,” ucapnya setelah selesai tertawa.
“Oke, kalau gitu aku ambil gelas lagi.”
Begitu aku hendak
beranjak, gadis itu menyambar tanganku. Gerakanku terhenti.
“Hei, aku becanda kali...” Dan dia pun
tertawa lagi.
Sumpah, itu
adalah momen paling memalukan dalam hidupku. Oke, mungkin kedua setelah aku tercebur got depan sekolah. Mungkin
wajahku tidak lagi memerah. Mungkin kini berdegradasi jadi jingga, atau ungu
tua. Ingin kututupi wajahku dengan nampan. Hanya saja, kalau kulakukan itu akan
menjadi kekonyolan berikutnya. Sudah cukup kupermalukan diriku didepan gadis
yang kusuka. Ya Tuhan apa yang terjadi denganku, runtukku untuk kesekian kali.
Tawa gadis itu
perlahan berubah menjadi senyuman. Aku ikut tersenyum. Paling tidak hanya itu
yang bisa kulakukan, ditengah kecanggungan.
“Memang kamu mau
ngomongin soal apa ke aku?”
Nah, itu pertanyaan
yang belum kupersiapkan jawabannya. Masuk akal juga ya, pikirku. Hampir
seminggu lebih sudah kupikirkan dirinya. Seminggu lebih pula kupendam keinginan
bertemu. Sampai-sampai aku lupa memikirkan apa yang akan kubicarakan, bila
bertemu nanti. Otakku pun kembali bekerja keras. Memikirkan sebuah jawaban yang
kira-kira pas.
Akhirnya sebuah
ide muncul dari otakku. “Ka-kamu jurusan sastra kan?”
“Iya, terus?”
“Aku punya
tulisan nih. Tulisan iseng aja sih. Kamu
mau baca nggak? Nanti kamu tolong ngasih penilaian dari sudut pandang
sastra. Gimana?”
Dia tersenyum
lagi. “Boleh. Mana?”
Aku pun bergegas
menuju mejaku tadi. Kuambil laptop, dan kembali ke meja gadis itu. Disana
kubiarkan dia membaca tulisanku. Tulisan asal yang baru saja kutulis beberapa
jam lalu. Tulisan yang kubuat sambil membayangkan sosoknya. Semoga dia tidak
menyadari hal itu, harapku. Kulihat dia cukup serius membaca.
Sehabis membaca,
gadis itu mulai memberi komentarnya. Kudengar setiap kalimat yang keluar dari
mulutnya. Sambil memperhatikan sosok cantiknya, tentunya. Dia memberikan
masukkan tentang pemilihan judul, menyusun alur, penokohan dan lainnya. Kagum aku
mendengarnya. Ternyata dia cukup cerdas. Penjelasannya detail. Seandainya
dosenku seperti dia, mungkin aku akan masuk kelas lebih sering. Sebagai penulis
otodidak, tentu penjelasan itu sangat membantu. Bahkan dia berkata akan
meminjamkan sebuah novel untuk kubaca. Katanya novel itu sesuai dengan gaya
penulisanku. Paling tidak menurutnya itu bisa jadi referensi buatku. Sesuatu
yang tidak mungkin kutolak, pastinya.
Tidak hanya soal
tulis menulis. Percakapan kami terus meluas ke berbagai tema. Selain cerdas, gadis
itu juga memiliki pengetahuan luas. Berbagai topik kami bicarakan, termasuk
soal politik. Sesuatu yang tidak pernah suka untuk kubahas. Namun, bersama dia
semua tema itu menjadi menarik untuk dibicarakan. Entah karena cara dia
berbicara, atau karena aku merasa nyaman bersama dirinya. Kulihat dia pun
merasakan yang sama. Paling tidak dari sudut pandangku.
Tanpa kami
sadari hujan telah reda, dan hari sudah menjelang malam.
“Sudah malam,
sepertinya aku harus pulang.”
“Oh iya,” ucapku
sambil tersenyum. “Kamu datang lagi besok?”
“Iya, kenapa?”
“Nggak apa-apa sih. Soalnya terakhir kali
aku ngeliat kamu datang kesini udah lama banget.” Kucoba menutupi kalau
aku merindukan kehadirannya.
“Aku lama nggak kesini, soalnya ada Pekan Seni dan
Sastra di kampus. Aku ikut bantu-bantu disana. Kasihan padahal voucher kopiku jadi hangus. Untung kemarin
ketemu Bli Gde di Pekan Seni, eh aku dikasi voucher
kopi lagi.”
“Voucher kopi?”
“Iya, voucher buat gratis minum kopi disini.
Aku masih ada, kamu mau?”
“Ma-makasi. Buat
besok aja deh, toh besok kita ketemu lagi.”
Sengaja tidak
kuperpanjang masalah voucher kopi
ini. Padahal masih ada tanda tanya dalam hatiku. Setahuku kedai Bli Gde tidak
pernah mengeluarkan voucher macam
itu. Kupandangi Bli Gde di meja kasir. Kulihat dia juga memperhatikan aku. Dia
malah mengacungkan dua jempol padaku. Harus kubahas masalah voucher ini dengannya nanti.
Kulihat gadis
itu sudah selesai berbenah. Kini didepan kami hanya ada laptopku, dan empat
gelas bekas kopi. Dia sudah hendak beranjak dari kursi.
“Oya, namamu
siapa? Kita belum berkenalan tadi.”
Kusodorkan
tanganku, dan dia menyambutnya. Kami berjabat tangan.
“Aku Lastri.”
“Aku Indra.”
“Iya, aku sudah
tahu...”
Perlu beberapa
detik buatku mencerna perkataannya tadi. “Ka-kamu sudah tahu namaku?”
“I-iya. Bli Gde
sudah cerita tentang kamu...” Lagi-lagi perkataannya membuatku bingung. Dahi
gadis itu berkernyit. Mungkin bisa dilihatnya kebingungan itu diwajahku. “...Oh,
Bli Gde belum cerita tentang aku ke kamu ya?”
Kugelengkan
kepala. Gadis itu kini tersenyum penuh arti. Dia lalu berdiri dari kursi.
“Kalau gitu kamu tanya sendiri aja deh langsung ke Bli Gde.” Lagi dia
tersenyum. Kemudian dia melambaikan tangan, dan mulai beranjak. “Sampai
besok...”
“Oke, sampai
besok. Jangan lupa novelnya...” balasku sedikit berteriak.
Gadis itu
membalas balik dengan anggukan. Disertai senyuman lagi, tentunya. Dan sosoknya
pun menghilang dibalik pintu. Kutatap lagi kakakku dikejauhan sana. Lagi-lagi diacungkannya
dua jempol kearahku. Benar-benar harus kubahas masalah Lastri ini dengannya.
Aku beranjak
dari meja, dan berjalan kearahnya.
“Bagaimana ngobrol-nya? Lancar?” Wajah Bli Gde
terlihat sumringah.
Tidak kujawab
pertanyaan itu. Justru kemudian kuajukan pertanyaan balik padanya. “Voucher kopi ah? Sejak kapan kedai ini ngasi voucher kopi ke pelanggan?”
Mendengar
pertanyaanku itu, kulihat kakakku mulai salah tingkah. Hanya terdengar ungkapan
‘Oh’ dari mulutnya. Kita sebut saja ‘Oh’ ini dengan ungkapan, karena jelas
itu bukanlah kata.
Melihat tidak
adanya tanggapan, kulanjutkan lagi kalimatku. “Terus bagaimana cewek bernama
Lastri itu bisa tahu namaku? Padahal aku saja tidak tahu namanya? Sepertinya
ada yang sedikit aneh disini. Ada yang Bli perlu jelaskan?”
Kutatap mata Bli
Gde dengan tajam. Dia masih terlihat salah tingkah.
“Oke, oke.
Kuceritakan semuanya padamu sekarang...” Bli Gde lalu berdehem. “...Kamu ingat teman
dari temanku yang mau aku kenalin ke kamu? Teman dari temanku yang terus kamu tolak
untuk ketemu? Teman dari temanku itu, iya dia si Lastri. Daripada capek ngajakin
kamu ketemu sama Lastri, mending aku ‘undang’ saja dia kesini pakai voucher kopi. Modal coreldraw doang tapi berhasil kan?” Bli Gde nyengir.
Aku terdiam
sejenak. Coba kucerna cerita Bli Gde tadi. Sebuah kebohongan demi kebaikan. Itu
istilah pembenar yang dipakai Bli Gde atas perbuatannya. Kesal memang
mendengarnya, namun harus kuakui apa yang dilakukannya cukup cerdik.
“Terus kapan Bli
menceritakan tentang aku ke dia?”
“Kemarin, waktu
ada pergelaran seni dikampusnya. Bukan aku yang mulai, tapi dia yang nanya
duluan. Dia nanya tentang cowok yang biasa duduk didekat meja kasir. Saat
kupancing, ternyata dia mengaku kalau dia sedikit penasaran. Nah, langsung saja
kuberitahu semuanya ke dia. Tanpa bilang kalau kamu ini adikku, tentunya...”
Bli Gde kembali berdehem. “...Sebagai catatan, kalau cewek bilang sedikit
penasaran, itu berarti ada rasa.”
Dan kulihat lagi
cengiran kakakku itu.
“Kalau memang
dia merhatiin, terus kenapa dia diem-diem aja ya selama dua hari itu?”
Mendengar itu,
Bli Gde mentoyor jidatku. Aku meringis.
“Hello, dia itu cewek tau. Wajar dong dia nunggu reaksi kamu
sebagai cowok. Dimana-mana cowoklah yang harus memulai duluan.”
Sialan.
Terkutuklah siapa pun dia yang membuat konsep ‘cowok musti mulai duluan’, di dunia percintaan. Kuharap dia membusuk
di neraka. Maaf, kalau bahasaku terlalu kasar. Ini hanyalah semata ungkapan
kekesalan. Konsep inilah yang selalu menghantui kami, para cowok-cowok pemalu. Termasuk
aku tentunya. Beberapa kali aku kehilangan cinta karena konsep sialan ini. Untungnya,
kesempatan kali ini kemauanku mengalahkan kemaluanku. Entah karena memang berjodoh,
atau sudah belajar dari kegagalan sebelumnya. Kegagalan yang mengajarkan aku menjadi
tangguh. Menjadi pejantan tangguh. Meminjam istilahnya Sheila On 7 nih.
“Terus sekarang
bagaimana?”
Bli Gde
memandangku tajam. Sepertinya dia menanti jawaban berupa sebuah kepastian.
Tentu saja tidak bisa kuberikan. Harus kutunggu bagaimana Lastri memandang
diriku. Aku sadar cinta itu perlu waktu. Aku sadar pula cinta tidak bisa datang
sendiri. Cinta adalah persoalan dua hati.
“Nggak tahu deh
Bli. Kita lihat saja besok, besok, dan besoknya lagi.”
“Tetap
semangat...”
Dua jempol Bli
Gde kembali mengacung. Dan aku pun hanya tersenyum.
*****
“Hei, akhirnya
kalian datang juga!”
Bli Gde
memelukku, lalu menyusul Lastri. Kami datang bersama memenuhi undangan Bli Gde.
Undangan peresmian cabang kedai kopi barunya. Prestasi tersendiri untuk sebuah
kedai kopi lokal. Kedai kopi yang dirintis Bli Gde bersama sang istri, sejak berpacaran
dulu. Aku kagum benar dengan kemesraan keduanya.
“Jadi bagaimana
perkembangan kalian?” Bli Gde berujar, sambil menatap istrinya dan Lastri yang
sedang meracik minuman.
“Lumayan Bli.
Kalau tidak ada halangan, mungkin akhir tahun kami menikah.”
Bli Gde langsung
menepuk bahuku. Dia tersenyum, dan aku membalasnya.
“Bagus itu,
bagus sekali.” Diacungkannya dua jempol. “Terus bagaimana soal tulisanmu?”
“Sudah di penerbit,
sepertinya sih tinggal nunggu proses
editing terus bisa naik cetak.”
“Bagus, bagus.
Tidak salah kan saranku? Yang kamu butuhkan hanya sedikit cinta.”
Aku tertawa dan
mengangguk. Telah kuakui kebenaran perkataan Bli Gde itu. Malah, seharusnya
kuturuti perkataan itu lebih awal. Namun tetap kusyukuri. Mungkin inilah cerita
yang ditulis Tuhan untukku. Aku selalu yakin kalau Tuhan itu adalah seorang
penulis. Dia menulis sebuah cerita untuk setiap ciptaan-Nya. Kita adalah tokoh
utama dari cerita kita masing-masing. Bahkan aku yang seorang penulis,
terkadang kagum dengan cerita yang ditulis-Nya. Termasuk cerita yang ditulis-Nya
untukku, tentunya.
“Oya, apa judul
tulisanmu itu?”
“Romansa Kedai
Kopi...” Aku tersenyum kecil. Kulanjutkan kalimatku, sebelum Bli Gde sempat berkomentar.
“...Dan jangan tanya siapa nama pemilik kedai kopinya.”
Kami berdua lalu
tertawa bersamaan. Tertawa sangat lebar. Sampai-sampai seisi ruangan heran menatap
kami. Begitu pula dua wanita spesial di hidup kami masing-masing.
.
Tanjung Bungkak, Maret 2016
*) Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar