Kisah ini
tentang seorang laki-laki. Dia ingin Bab Ketiga Puluh Tiga dari hidupnya bisa
berakhir seru. Maka dia memutuskan sebuah perjalanan nekad ke kota Yogyakarta.
Sebuah kota yang sudah lama ingin didatangi, namun belum ada waktu untuk dijelajahi.
Sebut saja nama laki-laki ini Dewa, dan ini adalah kisahnya.
Berawal dari
sebuah kebetulan, Dewa membaca sebuah twit dari komunitas menulis. Diinfokan
tentang kegiatan kumpul penulis dengan metode kelas belajar. Nah, mumpung ada waktu
kenapa tidak main ke Yogya aja nih, itu yang dipikirkannya saat itu. Kebetulan saat
itu dia sedang nganggur, jadi punya banyak waktu kosong dong. Kan bisa sambil
menyelam minum air mineral tuh, tambah lagi dalam benaknya. Sambil travelling bisa nambah ilmu. Maka disusunlah
rencana perjalanan ‘nekad’ itu. Iya, bisa dibilang nekad karena dia sama sekali
buta tentang Yogya. Yang Dewa tahu Yogya itu ada di Jawa Tengah, sudah itu
saja. Itu saja. Dengan persiapan hanya tiga hari, praktis dia hanya bisa bertanya
tentang Yogya kepada mbah Google.
Untuknya si mbah nggak keberatan ditanya-tanya mendadak kayak gitu.
Di hari-H, Jumat
170317 (tanggalnya cantik kan?), perjalanan dari Ngurah Rai menghabiskan waktu
sejam lima belas menit. Tiba di Adi Sucipto, saking tidak tahunya Yogya, Dewa
sampai bingung cara keluar dari bandara. Iya, memang sebegitu butanya dia
dengan Yogya. Kata mbah Google, Bandara
Adi Sucipto itu kecil. Yah sekecil-kecilnya bandara, tetep nggak mungkin dong
ukurannya sedaun kelor kan?
“Taxi mas, taxi
mas...” Begitu keluar dari pintu pertama, banyak mas-mas dan mba-mba yang
menyambut Dewa. Iseng dia menanyakan tarif taxi dari bandara ke Prawirotaman,
daerah tujuan.
“Dua ratus saja mas,” Dewa
shock. “Gila, tipis amat bedanya dari harga tiket bus dari Bali ke Yogya? Nggak
salah tuh?” “Emang Prawirotaman itu beda pulau sama Yogya?” Runtuknya lagi. Dewa
pun menolak, kemudian lanjut ngacir.
"Mas, ini
jalan keluar dari bandara lewat mana ya?" Dewa dikejutkan oleh suara
wanita. Dia menoleh dan dilihatnya seorang ibu paruh baya. "Lah, ini ibu salah
nanya nih. Masa nanya sama orang yang kesasar juga." Batinnya dalam hati.
"Saya juga
nggak tahu Bu, saya juga bingung nih." Kejujuran Dewa, sepertinya membuat
sang ibu makin kebingungan.
Prihatin melihat
kondisi sang ibu, padahal dirinya sendiri nggak kalah memperihatinkan, Dewa
mengajak sang ibu bertanya kepada seorang petugas bandara. Mba-mba cakep berpakaian
serba ungu, yang merupakan seragam air
crew darat. Dengan senyum yang ramah, si mba menunjukan jalan keluar
bandara. Sumpah senyumnya manis banget, sedikit salah fokus. Saking ramahnya si
mba, juga menambahkan bonus informasi tentang cara mencari bus. Bus TransJogya
namanya. Rupanya Dewa dan si ibu malang, punya rute bus yang sama. Rute 3B. Ini
3B yah, bukan 36B.
Setelah
informasi dirasa cukup, dengan berat hati Dewa melepas pergi si mba cantik. Dia
dan si ibu, lalu bersama-sama menuju terminal bus. Ternyata naik bus TransJogya
itu murah banget, Dewa kaget. Cuma bayar tiga ribu lima ratus perak doang, dan
itupun dibayari oleh si ibu. Kualat banget nih si Dewa. Tapi beneran nih ibu
baik banget. Hanya saja, rasa kaget itu mendadak sirna. Saat naik bus, ternyata
tidak ada tempat duduk kosong. Terpaksa Dewa harus berdiri dengan gagahnya. Lah,
kalau gini sih wajar banget kalau tarifnya murah. Tapi tidak apa-apa, namanya
juga perjalanan nekad. Rintangan apapun, maju terus pantang kendur.
“Saya duluan ya
mas, makasi loh bantuannya.” Si ibu turun di stasiun pertama. “Lah, kan yang
dibayarin diriku, kok si ibu yang ngucapin makasi?” Dewa salting. Dari hasil
pembicaraan, si ibu ternyata juga seorang ‘lone
traveller’. Dan dia satu pesawat dengan Dewa. Tujuannya datang ke Yogya
karena ada keluarganya yang meninggal. Luar biasa memang si ibu tersebut. Keduanya
pun berjabat tangan, untuk kemudian berpisah.
Selain si ibu
tadi, Dewa juga bertemu dengan seorang pemuda di bus. Kenapa pemuda ini perlu
masuk ke dalam cerita? Karena dari dia-lah Dewa bisa tahu harus turun di halte
mana. Dia mengaku dari Semarang, dan dia juga ‘lone traveller’. Ternyata di dunia ini banyak banget ‘lone traveller’. Pemuda ini juga mengaku
kalau tidak begitu tahu Yogya. Dia hanya mengandalkan aplikasi Google Map sebagai guide. Tidak kalah
luar biasa dari si ibu tadi.
“Halte Pojok
Beteng Wetan...” Tujuan Dewa diteriakan oleh kernet bus.
Dewa pun turun
dari bus. Berbekal sedikit informasi dari si kernet, dia berjalan menuju
pertigaan jalan Sisingamangaraja. “Dari sana sekitar lima ratus meter, kiri
jalan, sudah di Prawirotaman mas.” Dewa mengingat-ingat terus kata-kata si
kernet. Berharap dia tidak nyasar.
Rasa haus dan
lapar membuat langkah Dewa terhenti di sebuah mini mart. Sebotol air mineral
dan sebungkus roti, cukup meredakan haus dan lapar. Selepas itu, Dewa kembali
melangkah. Baru seratusan meter, sebuah becak motor menghampirinya.
“Mau kemana
Mas?” Si sopir becak menyapa ramah. Seramah-ramahnya orang, namanya bukan di
daerah sendiri, Dewa pasang kuda-kuda waspada.
“Mau kedepan aja
Mas,” entah yang dimaksud Dewa itu depan yang mana.
“Biar saya antar
Mas, dari pagi belum dapat muatan nih. Saya kasih murah deh.”
Dewa mikir
sesaat. Coba di tes deh sopir becak ini, pikirnya. “Mau ke Prawirotaman Mas.”
“Oh deket itu,
sepuluh ribu saja deh.”
“Kalau ke
Malioboro jauh nggak Mas?”
“Kalau Malioboro
sih agak jauh, tapi kalau Mas-nya mau keliling sampai Malioboro bisa saya anter
kok.”
Kembali Dewa
berpikir. Ketimbang repot pindah-pindah dari satu becak ke becak lain, mending
‘charter’ Bapak ini saja. Maka
nego-nego harga pun terjadi dengan alot. Nggak alot-alot amat sih, sengaja
ditulis seperti itu biar dramatis. Harga cocok, si Bapak pun mengantar Dewa ke
penginapan, untuk menaruh barang bawaan. Setelahnya perjalanan keliling Yogya
hari pertama pun dimulai, namun tidak akan dijelaskan disini. Kemana saja si
Dewa keliling-keliling, bisa dilihat di sosial media dia-lah. Apa aja sosial
medianya si Dewa? Nggak penting banget di-share
di tulisan ini. Ntar dia jadi terkenal, malah repot lagi.
Diantara
tempat-tempat yang kunjungi Dewa, mungkin ada satu tempat yang perlu di-share. Tempat itu adalah Taman Sari,
bagian dari Keraton, dan letaknya pun tidak jauh dari Keraton. Kenapa tempat
ini menarik? Karena ditempat ini Dewa bertemu dengan Lauren, seorang wanita ‘lone traveller’ dari Malaysia. Pertemuan
ini unik, karena berawal dari kebingungan keduanya saat mengambil foto. Persamaan
nasib ini kemudian membuka percakapan keduanya. Sebuah pertemuan singkat, tapi
berkesan lah buat Dewa. Selain si Lauren ini emang cantik sih. Tukeran nomor
telpon? Nggaklah, si Dewa males LDR-an. Interlokal aja dia males, apalagi
internasional. Lagian kata nenek, jodoh itu biasanya deket-deket aja. Entah ini
si nenek bener serius apa cuma ngarang, terus si Dewa percaya gitu aja.
Oya lupa, nama
bapak sopir becak motor itu adalah Jimin. Dimana jadwal keliling hari pertama
ini molor dua jam. Dewa baru sampai di penginapan menjelang jam delapan malam. Itu
pun dia langsung tepar, yang syukurnya dia masih inget mandi. Serius, paragraf yang
ini kok kalimat pembuka sama isinya nggak nyambung yah?
Hari kedua dan
ketiga di Yogya, Dewa isi dengan mengikuti kelas Kanca. Nggak ada acara
jalan-jalan. Apa itu Kanca, bisa di-search
lewat Google. Yang jelas itu semacam
komunitas para penulis gitu deh. Di kelas ini Dewa banyak belajar mengenai tulis
menulis, dan fotografi. Hanya saja, selama dua hari kegiatan Dewa agak kesulitan
berinteraksi. Bukannya nggak mau sih, cuma peserta yang datang sebagian besar
memang sudah saling mengenal. Jadi ya gitu, Dewa seakan-akan berada dalam
cerita itik buruk rupa, yang hidup diantara kawanan angsa. Tapi ya sudahlah,
toh tujuan awal datang kan cari ilmu. Maka jadi pendengar yang baik, dan serap
ilmu sebanyak-banyaknya jadi prinsip Dewa saat itu. Paling tidak, biar balik ke
Bali nggak dengan otak kosong, gitu loh.
Di hari keempat,
hari terakhir berada di Yogya, Dewa tidak punya jadwal. Beruntung di hari
kedua, Dewa bertemu dengan Bapak Sunaryo, seorang sopir ojek. Heran deh sama
Dewa ini. Di kelas Kanca banyak cewek-cewek cakep, eh dia malah gaulnya sama
sopir becak dan sopir ojek. Gimana mau ngerubah status jomblo kalo gini terus.
Ah sudahlah, itu sih urusan si Dewa, bukan urusanku. Oke, balik ke Pak Sunaryo.
Pak Naryo, begitu biasanya dia dipanggil, nawarin jasa guiding full day, dengan harga yang cukup miring. Nggak disia-siain
dong oleh Dewa. Sekali lagi, si Dewa ini mah orangnya nggak suka repot. Dan
nego-nego lokasi travelling pun
terjadi dengan super alot. Kalau ini sih beneran alot, sumpah!
“Saya mau dari Borobudur,
ke Prambanan, terus ke Parangtritis Pak.” Pak Naryo kaget. “Aduh Mas, itu sih
sama aja dari ujung utara ke selatan, terus balik lagi utara.”
“Oh gitu ya,
kalau begitu saya mau ke Borobudur aja, tapi nanti pakai acara mampir dulu ke Taman
Mini ya Pak.” Pak Naryo nepuk jidat. “Nggak sekalian aja ke Dufan, Gedung Sate,
terus terakhir Puncak gitu loh Mas? Deket semua tuh dari Yogya.”
Mohon dicatat, obrolan
diatas hanya rekayasa belaka. Semata-mata ingin nunjukin bagaimana alotnya
negosisasi yang terjadi. Ketika lokasi-lokasi itu disepakati, negosiasi kembali
alot saat membahas harga. Tambah nol, kurangi nol, menjadi topik yang hot. Beruntung kesepatan segera
tercapai, sebelum Indonesia ganti Presiden.
Hari terakhir di
Yogya, dimulai pagi sekali. Pukul delapan Dewa sudah check-out. Nah, kemana saja rute perjalanan Dewa hari itu, bisa
dilihat juga di sosial media dia. Pokoknya lebih seru hari keempat ini,
ketimbang hari pertama. Dimana akhirnya perjalanan itu berujung di Adi Sucipto.
Dalam hati memperkirakan akan delay,
habis tahu sendirilah image si singa
terbang, ternyata belum tengah malam Dewa sudah menapak di tanah kelahirannya.
Demikian akhir
petualangan si Dewa. Bagi kalian mungkin perjalanan Dewa ini tidak sedramatis
perjalanan Tong Sam Chong, saat mencari kitab suci ke Barat. Namun, bagi Dewa
perjalanan seorang dirinya ini adalah pengalaman yang seru. Dalam hati Dewa berdoa,
semoga perjalanan ini akan menjadi awal dari perjalanan-perjalanan seru berikutnya.
Mungkin tidak hanya dalam negeri, tapi juga bisa sampai ke luar negeri. Mari
kita doakan bersama agar cita-cita Dewa itu bisa terwujud. Tapi kalau boleh
saran nih Wa, cari jodoh dulu napa? Nggak bosen tuh jalan-jalan sendiri mulu? Sandal
jepit aja kalo jalan-jalan ada pasangannya loh. Oke skip!
Yah, dibalik
semua keseruan itu, yang jelas Dewa merasa telah menutup Bab Tiga Puluh Tiga
hidupnya dengan tidak biasa. Sesuai dengan harapannya. Pokoknya berbedalah
dengan penutup Bab-Bab hidup dia sebelumnya. Dewa sangat berharap, semoga Bab
Tiga Puluh Empat nanti akan bisa lebih seru lagi. Kalau bisa dilengkapi dengan
kisah romantika. Astungkara. Amin.
Denpasar-Bali, 24 Maret 2017.
H-1 menutup 33, dan membuka 34.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar