Jumat, 24 Maret 2017

Menutup Bab Tiga Puluh Tiga


Kisah ini tentang seorang laki-laki. Dia ingin Bab Ketiga Puluh Tiga dari hidupnya bisa berakhir seru. Maka dia memutuskan sebuah perjalanan nekad ke kota Yogyakarta. Sebuah kota yang sudah lama ingin didatangi, namun belum ada waktu untuk dijelajahi. Sebut saja nama laki-laki ini Dewa, dan ini adalah kisahnya.


Berawal dari sebuah kebetulan, Dewa membaca sebuah twit dari komunitas menulis. Diinfokan tentang kegiatan kumpul penulis dengan metode kelas belajar. Nah, mumpung ada waktu kenapa tidak main ke Yogya aja nih, itu yang dipikirkannya saat itu. Kebetulan saat itu dia sedang nganggur, jadi punya banyak waktu kosong dong. Kan bisa sambil menyelam minum air mineral tuh, tambah lagi dalam benaknya. Sambil travelling bisa nambah ilmu. Maka disusunlah rencana perjalanan ‘nekad’ itu. Iya, bisa dibilang nekad karena dia sama sekali buta tentang Yogya. Yang Dewa tahu Yogya itu ada di Jawa Tengah, sudah itu saja. Itu saja. Dengan persiapan hanya tiga hari, praktis dia hanya bisa bertanya tentang Yogya kepada mbah Google. Untuknya si mbah nggak keberatan ditanya-tanya mendadak kayak gitu.
Di hari-H, Jumat 170317 (tanggalnya cantik kan?), perjalanan dari Ngurah Rai menghabiskan waktu sejam lima belas menit. Tiba di Adi Sucipto, saking tidak tahunya Yogya, Dewa sampai bingung cara keluar dari bandara. Iya, memang sebegitu butanya dia dengan Yogya. Kata mbah Google, Bandara Adi Sucipto itu kecil. Yah sekecil-kecilnya bandara, tetep nggak mungkin dong ukurannya sedaun kelor kan?
“Taxi mas, taxi mas...” Begitu keluar dari pintu pertama, banyak mas-mas dan mba-mba yang menyambut Dewa. Iseng dia menanyakan tarif taxi dari bandara ke Prawirotaman, daerah tujuan.
“Dua ratus saja mas,” Dewa shock. “Gila, tipis amat bedanya dari harga tiket bus dari Bali ke Yogya? Nggak salah tuh?” “Emang Prawirotaman itu beda pulau sama Yogya?” Runtuknya lagi. Dewa pun menolak, kemudian lanjut ngacir.
"Mas, ini jalan keluar dari bandara lewat mana ya?" Dewa dikejutkan oleh suara wanita. Dia menoleh dan dilihatnya seorang ibu paruh baya. "Lah, ini ibu salah nanya nih. Masa nanya sama orang yang kesasar juga." Batinnya dalam hati.
"Saya juga nggak tahu Bu, saya juga bingung nih." Kejujuran Dewa, sepertinya membuat sang ibu makin kebingungan.
Prihatin melihat kondisi sang ibu, padahal dirinya sendiri nggak kalah memperihatinkan, Dewa mengajak sang ibu bertanya kepada seorang petugas bandara. Mba-mba cakep berpakaian serba ungu, yang merupakan seragam air crew darat. Dengan senyum yang ramah, si mba menunjukan jalan keluar bandara. Sumpah senyumnya manis banget, sedikit salah fokus. Saking ramahnya si mba, juga menambahkan bonus informasi tentang cara mencari bus. Bus TransJogya namanya. Rupanya Dewa dan si ibu malang, punya rute bus yang sama. Rute 3B. Ini 3B yah, bukan 36B.
Setelah informasi dirasa cukup, dengan berat hati Dewa melepas pergi si mba cantik. Dia dan si ibu, lalu bersama-sama menuju terminal bus. Ternyata naik bus TransJogya itu murah banget, Dewa kaget. Cuma bayar tiga ribu lima ratus perak doang, dan itupun dibayari oleh si ibu. Kualat banget nih si Dewa. Tapi beneran nih ibu baik banget. Hanya saja, rasa kaget itu mendadak sirna. Saat naik bus, ternyata tidak ada tempat duduk kosong. Terpaksa Dewa harus berdiri dengan gagahnya. Lah, kalau gini sih wajar banget kalau tarifnya murah. Tapi tidak apa-apa, namanya juga perjalanan nekad. Rintangan apapun, maju terus pantang kendur.
“Saya duluan ya mas, makasi loh bantuannya.” Si ibu turun di stasiun pertama. “Lah, kan yang dibayarin diriku, kok si ibu yang ngucapin makasi?” Dewa salting. Dari hasil pembicaraan, si ibu ternyata juga seorang ‘lone traveller’. Dan dia satu pesawat dengan Dewa. Tujuannya datang ke Yogya karena ada keluarganya yang meninggal. Luar biasa memang si ibu tersebut. Keduanya pun berjabat tangan, untuk kemudian berpisah.
Selain si ibu tadi, Dewa juga bertemu dengan seorang pemuda di bus. Kenapa pemuda ini perlu masuk ke dalam cerita? Karena dari dia-lah Dewa bisa tahu harus turun di halte mana. Dia mengaku dari Semarang, dan dia juga ‘lone traveller’. Ternyata di dunia ini banyak banget ‘lone traveller’. Pemuda ini juga mengaku kalau tidak begitu tahu Yogya. Dia hanya mengandalkan aplikasi Google Map sebagai guide. Tidak kalah luar biasa dari si ibu tadi.
“Halte Pojok Beteng Wetan...” Tujuan Dewa diteriakan oleh kernet bus.
Dewa pun turun dari bus. Berbekal sedikit informasi dari si kernet, dia berjalan menuju pertigaan jalan Sisingamangaraja. “Dari sana sekitar lima ratus meter, kiri jalan, sudah di Prawirotaman mas.” Dewa mengingat-ingat terus kata-kata si kernet. Berharap dia tidak nyasar.
Rasa haus dan lapar membuat langkah Dewa terhenti di sebuah mini mart. Sebotol air mineral dan sebungkus roti, cukup meredakan haus dan lapar. Selepas itu, Dewa kembali melangkah. Baru seratusan meter, sebuah becak motor menghampirinya.
“Mau kemana Mas?” Si sopir becak menyapa ramah. Seramah-ramahnya orang, namanya bukan di daerah sendiri, Dewa pasang kuda-kuda waspada.
“Mau kedepan aja Mas,” entah yang dimaksud Dewa itu depan yang mana.
“Biar saya antar Mas, dari pagi belum dapat muatan nih. Saya kasih murah deh.”
Dewa mikir sesaat. Coba di tes deh sopir becak ini, pikirnya. “Mau ke Prawirotaman Mas.”
“Oh deket itu, sepuluh ribu saja deh.”
“Kalau ke Malioboro jauh nggak Mas?”
“Kalau Malioboro sih agak jauh, tapi kalau Mas-nya mau keliling sampai Malioboro bisa saya anter kok.”
Kembali Dewa berpikir. Ketimbang repot pindah-pindah dari satu becak ke becak lain, mending ‘charter’ Bapak ini saja. Maka nego-nego harga pun terjadi dengan alot. Nggak alot-alot amat sih, sengaja ditulis seperti itu biar dramatis. Harga cocok, si Bapak pun mengantar Dewa ke penginapan, untuk menaruh barang bawaan. Setelahnya perjalanan keliling Yogya hari pertama pun dimulai, namun tidak akan dijelaskan disini. Kemana saja si Dewa keliling-keliling, bisa dilihat di sosial media dia-lah. Apa aja sosial medianya si Dewa? Nggak penting banget di-share di tulisan ini. Ntar dia jadi terkenal, malah repot lagi.


Diantara tempat-tempat yang kunjungi Dewa, mungkin ada satu tempat yang perlu di-share. Tempat itu adalah Taman Sari, bagian dari Keraton, dan letaknya pun tidak jauh dari Keraton. Kenapa tempat ini menarik? Karena ditempat ini Dewa bertemu dengan Lauren, seorang wanita ‘lone traveller’ dari Malaysia. Pertemuan ini unik, karena berawal dari kebingungan keduanya saat mengambil foto. Persamaan nasib ini kemudian membuka percakapan keduanya. Sebuah pertemuan singkat, tapi berkesan lah buat Dewa. Selain si Lauren ini emang cantik sih. Tukeran nomor telpon? Nggaklah, si Dewa males LDR-an. Interlokal aja dia males, apalagi internasional. Lagian kata nenek, jodoh itu biasanya deket-deket aja. Entah ini si nenek bener serius apa cuma ngarang, terus si Dewa percaya gitu aja.
Oya lupa, nama bapak sopir becak motor itu adalah Jimin. Dimana jadwal keliling hari pertama ini molor dua jam. Dewa baru sampai di penginapan menjelang jam delapan malam. Itu pun dia langsung tepar, yang syukurnya dia masih inget mandi. Serius, paragraf yang ini kok kalimat pembuka sama isinya nggak nyambung yah?
Hari kedua dan ketiga di Yogya, Dewa isi dengan mengikuti kelas Kanca. Nggak ada acara jalan-jalan. Apa itu Kanca, bisa di-search lewat Google. Yang jelas itu semacam komunitas para penulis gitu deh. Di kelas ini Dewa banyak belajar mengenai tulis menulis, dan fotografi. Hanya saja, selama dua hari kegiatan Dewa agak kesulitan berinteraksi. Bukannya nggak mau sih, cuma peserta yang datang sebagian besar memang sudah saling mengenal. Jadi ya gitu, Dewa seakan-akan berada dalam cerita itik buruk rupa, yang hidup diantara kawanan angsa. Tapi ya sudahlah, toh tujuan awal datang kan cari ilmu. Maka jadi pendengar yang baik, dan serap ilmu sebanyak-banyaknya jadi prinsip Dewa saat itu. Paling tidak, biar balik ke Bali nggak dengan otak kosong, gitu loh.


Di hari keempat, hari terakhir berada di Yogya, Dewa tidak punya jadwal. Beruntung di hari kedua, Dewa bertemu dengan Bapak Sunaryo, seorang sopir ojek. Heran deh sama Dewa ini. Di kelas Kanca banyak cewek-cewek cakep, eh dia malah gaulnya sama sopir becak dan sopir ojek. Gimana mau ngerubah status jomblo kalo gini terus. Ah sudahlah, itu sih urusan si Dewa, bukan urusanku. Oke, balik ke Pak Sunaryo. Pak Naryo, begitu biasanya dia dipanggil, nawarin jasa guiding full day, dengan harga yang cukup miring. Nggak disia-siain dong oleh Dewa. Sekali lagi, si Dewa ini mah orangnya nggak suka repot. Dan nego-nego lokasi travelling pun terjadi dengan super alot. Kalau ini sih beneran alot, sumpah!
“Saya mau dari Borobudur, ke Prambanan, terus ke Parangtritis Pak.” Pak Naryo kaget. “Aduh Mas, itu sih sama aja dari ujung utara ke selatan, terus balik lagi utara.”
“Oh gitu ya, kalau begitu saya mau ke Borobudur aja, tapi nanti pakai acara mampir dulu ke Taman Mini ya Pak.” Pak Naryo nepuk jidat. “Nggak sekalian aja ke Dufan, Gedung Sate, terus terakhir Puncak gitu loh Mas? Deket semua tuh dari Yogya.”
Mohon dicatat, obrolan diatas hanya rekayasa belaka. Semata-mata ingin nunjukin bagaimana alotnya negosisasi yang terjadi. Ketika lokasi-lokasi itu disepakati, negosiasi kembali alot saat membahas harga. Tambah nol, kurangi nol, menjadi topik yang hot. Beruntung kesepatan segera tercapai, sebelum Indonesia ganti Presiden.
Hari terakhir di Yogya, dimulai pagi sekali. Pukul delapan Dewa sudah check-out. Nah, kemana saja rute perjalanan Dewa hari itu, bisa dilihat juga di sosial media dia. Pokoknya lebih seru hari keempat ini, ketimbang hari pertama. Dimana akhirnya perjalanan itu berujung di Adi Sucipto. Dalam hati memperkirakan akan delay, habis tahu sendirilah image si singa terbang, ternyata belum tengah malam Dewa sudah menapak di tanah kelahirannya.
Demikian akhir petualangan si Dewa. Bagi kalian mungkin perjalanan Dewa ini tidak sedramatis perjalanan Tong Sam Chong, saat mencari kitab suci ke Barat. Namun, bagi Dewa perjalanan seorang dirinya ini adalah pengalaman yang seru. Dalam hati Dewa berdoa, semoga perjalanan ini akan menjadi awal dari perjalanan-perjalanan seru berikutnya. Mungkin tidak hanya dalam negeri, tapi juga bisa sampai ke luar negeri. Mari kita doakan bersama agar cita-cita Dewa itu bisa terwujud. Tapi kalau boleh saran nih Wa, cari jodoh dulu napa? Nggak bosen tuh jalan-jalan sendiri mulu? Sandal jepit aja kalo jalan-jalan ada pasangannya loh. Oke skip!
Yah, dibalik semua keseruan itu, yang jelas Dewa merasa telah menutup Bab Tiga Puluh Tiga hidupnya dengan tidak biasa. Sesuai dengan harapannya. Pokoknya berbedalah dengan penutup Bab-Bab hidup dia sebelumnya. Dewa sangat berharap, semoga Bab Tiga Puluh Empat nanti akan bisa lebih seru lagi. Kalau bisa dilengkapi dengan kisah romantika. Astungkara. Amin.

Denpasar-Bali, 24 Maret 2017.
H-1 menutup 33, dan membuka 34.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar