Sabtu, 22 April 2017

Antara Cekal, Cegah, dan Tangkal. Bedanya apa?


Saya menulis ini sekedar iseng. Berawal dari sebuah berita di televisi. Saat itu dibahas tentang Pimpinan DPR yang bersurat kepada Presiden, berupa nota keberatan. Isinya terkait pencegahan Setya Novanto ke luar negeri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pimpinan DPR meminta pencegahan tersebut dibatalkan, karena dinilai mengganggu tugas kenegaraan seorang Ketua DPR. Dari berita ini mengelitik untuk mencari tahu tentang ‘pencegahan’ yang dimaksud. Yang sering saya dengar adalah tindakan pencekalan atau cekal, bukan pencegahan.
Setelah riset kecil-kecilan (Halah riset, sok ilmiah banget, bilang aja googling), cekal itu berasal dari singkatan cegah-tangkal, atau lengkapnya pencegahan dan penangkalan. Ada dua payung hukum untuk tindakan pencegahan dan penangkalan ini, yaitu UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam hal ini UU KPK bersifat lex specialis, atau bersifat khusus untuk kasus-kasus korupsi.
Bagaimana bunyi pasal yang mengatur mengenai cekal dalam kedua undang-undang tersebut?

Pertama, ketentuan dalam UU Keimigrasian. Diantaranya mengatur tentang:
Definisi Pencegahan adalah larangan sementara terhadap orang untuk keluar Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian atau alasan lain yang ditentukan oleh undang-undang. (Pasal 1 angka 28).
Definisi Penangkalan adalah larangan terhadap Orang Asing untuk masuk Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian. (Pasal 1 angka 29).
Yang berhak melakukan Pencegahan dan Penangkalan adalah Menteri yang diberi kewenangan di bidang keimigrasian, yang dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia. Tindakan Penangkalan dapat pula dilakukan oleh Pejabat Imigrasi yang ditunjuk.
Tindakan Pencegahan oleh Menteri dilakukan berdasarkan: 1) Hasil pengawasan keimigrasian dan keputusan Tindakan Administratif Keimigrasian; 2) Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung; 3) Permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri); 4) Perintah Ketua KPK; 5) Permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN); dan 6) Keputusan, Perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/lembaga lain yang berdasarkan undang-undang memiliki kewenangan Pencegahan.
Dalam keputusan Pencegahan dan permintaan Penangkalan, sekurang-kurangnya harus memuat: 1) nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta foto yang dikenai Pencegahan/ Penangkalan; 2) alasan Pencegahan/Penangkalan; dan 3) jangka waktu Pencegahan/Penangkalan.
Dimana jangka waktu Pencegahan/Penangkalan sendiri berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. Namun, apabila kemudian tidak ada keputusan perpanjangan, maka Pencegahan/Penangkalan berakhir demi hukum.
Dalam hal terdapat keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bebas atas perkara yang menjadi alasan Pencegahan, maka secara otomatis Pencegahan berakhir demi hukum. Sedangkan untuk keputusan Penangkalan seumur hidup dapat dikenakan terhadap Orang Asing yang dianggap dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum.

Kedua, ketentuan dalam UU KPK. Diantaranya mengatur tentang:
Tindakan Pencegahan dimiliki oleh KPK adalah terkait tugasnya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam hal pelaksanaan tugasnya ini, KPK berwenang memerintahkan kepada instansi yang terkait (dalam hal ini Keimigrasian) untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. (Pasal 12 ayat (1) huruf b).
Kewenangan KPK ini sempat menjadi perdebatan, ketika tanggal 8 Pebruari 2012, Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian. Dalam keputusannya MK membatalkan kata: “... penyelidikan dalam ...” Artinya, norma pasal itu menegaskan Pencegahan tidak dibolehkan saat sebuah kasus masih dalam tahap penyelidikan.
Perdebatan yang kemudian muncul. Apakah KPK masih berhak melakukan tindakan Pencegahan saat kasus masih dalam tahap penyelidikan? Dua pendapat pun muncul. Pertama, menyatakan KPK tidak berwenang lagi, karena kewenangan KPK ini secara tidak langsung terkait dengan UU Keimigrasian. Pimpinan KPK harus bersurat kepada Keimigrasian, apabila ingin melakukan tindakan Pencegahan.
Kedua, menyatakan KPK masih tetap berwenang, karena keputusan MK ini hanya berlaku untuk UU Keimigrasian. UU KPK sendiri bersifat lex specialis.
Hanya saja, KPK berkilah kalau selama ini mereka memang tidak pernah melakukan tindakan Pencegahan pada tahap penyelidikan. Maka keputusan MK tidaklah terlalu berpengaruh terhadap kerja-kerja KPK.

Dari pembahasan diatas, terlihat adanya perbedaan yang cukup signifikan antara Pencegahan dan Penangkalan. Ini hasil kesimpulan pribadi loh yah. Disanggah juga nggak apa-apa kok, ini negara demokrasi hehehe... Menilik perbedaan tersebut, menurut saya pemakaian istilah ‘cekal’ dalam berita-berita di berbagai media, sebenarnya kurang tepat. Bisa saja sih, tapi itu pun kalau seseorang itu memang dikenai dua tindakan sekaligus, yaitu pencegahan dan juga penangkalan. Namun apakah itu mungkin?
Secara hukum, konteks cegah dan tangkal adalah dua hal berbeda. Pencegahan adalah untuk warga negara Indonesia (WNI) agar tidak pergi ke luar negeri, sedangkan penangkalan adalah untuk warga negara asing (WNA) agar tidak masuk ke wilayah Indonesia. Maka menurut saya, sekali lagi menurut pendapat saya pribadi nih, tidak mungkin kiranya seseorang dikenai pencegahan dan penangkalan sekaligus. Disinilah letak pemakaian istilah ‘cekal’ menjadi kurang tepat. Menjadi kurang tepat bila ditulis: “KPK mencekal Setya Novanto ke luar negeri...” Akan lebih tepat kiranya ditulis: “KPK mencegah Setya Novanto ke luar negeri...”.
Kalau berbicara mengenai kewenangan Menteri Hukum dan HAM, atau Pejabat Keimigrasian tertentu yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, pemakaian istilah ‘pencekalan’ sih bisa-bisa saja. Karena kedua pejabat negara ini memang memiliki kewenangan untuk melakukan pencegahan dan penangkalan. Misalnya ketika ditulis: “Berdasarkan UU Keimigrasian, Menteri Hukum dan HAM memiliki kewenangan pencekalan...”.
Kalau iseng dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘cekal’ adalah sebuah kata dasar. Makna dari kata ‘cekal’ berarti tahan menderita; (tetap) kuat; tabah. Tentunya bukan itu makna ‘cekal’ yang dimaksud disini. Dalam pembahasan ini yang dimaksud ‘cekal’ adalah singkatan dari cegah-tangkal.
Bagi saya pribadi, tindakan yang dikenakan terhadap Setya Novanto oleh KPK adalah murni pencegahan, tanpa adanya tindakan tambahan berupa penangkalan. Maka kemudian tidak bisa dikatakan kalau yang bersangkutan dicekal, tapi dicegah ke luar negeri. Semoga sih pembahasan ini tidak salah. Sekali lagi kalau salah, ya silakan disanggah.
Demikian, semoga berguna.

Denpasar, 22 April 2017
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar