Ketika rasa
sakit itu datang rasanya sungguh menyiksa. Keringat dingin mengucur deras.
Tubuh mengejang hebat. Setiap sendi terasa kaku. Setiap syaraf terasa
ditusuk-tusuk jarum. Kadang aku mengerang, kadang aku berteriak, agar rasa sakit
yang melanda bisa berkurang. Sungguh cobaan yang luar biasa. Semua itu telah jadi
‘rutinitas’, hampir separuh dari hidupku. Pil dan serbuk terlarang yang aku
konsumsi adalah penyebabnya.
Ditengah ‘ritual’
penuh kekacauan itu, bersyukur selalu ada dia disisiku. Dialah ibuku. Dialah
malaikatku Dia yang dengan sentuhannya dapat menenangkan aku. Genggaman
tangannya yang lembut selalu membuatku merasa nyaman. Suara merdunya perlahan-lahan
akan membuat aku kembali tenang. Sebuah lagu yang biasa dia dendangkan. Lagu pengantar
tidur warisan nenek.
Setiap
kali mengingat masa-masa itu, air mataku pasti akan menetes. Masa beberapa
tahun ke belakang. Masa kelam dalam hidupku.
Aku memiliki masa lalu yang tidak dapat dibanggakan. Sama
sekali tak dapat dibanggakan. Kata orang pilihlah sahabat dekatmu dengan bijak,
karena mereka akan mempengaruhi jalan hidupmu. Baik atau buruk jalan yang kamu
tempuh, sebagian besar ditentukan oleh siapa yang kamu ajak bergaul. Kini aku
mempercayai kata-kata itu. Percaya sekali.
“Cobalah
sedikit. Kalau sedikit nggak bakal bikin ketagihan,” bujuk temanku.
Endapan
masalah di kepalaku, ditambah beberapa botol minuman keras, membuat aku tidak
bisa lagi berpikir jernih. Aku tegak pil warna biru yang dia sodorkan. Beberapa
saat efeknya langsung terasa. Aku merasa seperti terbang. Aku merasa seperti
melayang. Detik itu juga, semua masalah hidupku seperti menghilang. Tubuhku
terasa ringan. Bergerak tanpa beban seiring alunan musik.
Namun,
semua sensasi itu hanyalah perasaan semu belaka. Pulang ke rumah, aku harus kembali
ke kenyataan hidup. Melihat lagi sosok yang aku benci. Ayahku sendiri. Sosok
yang selingkuh dengan rekan-rekan bisnisnya. Tidak hanya sekali, tidak hanya
dua kali. Perkawinan dia dan ibu saat ini ada di ujung tanduk. Hanya karena ibu
memilih tegar demi kami, rumah tangga mereka masih bertahan. Tidak demikian
dengan aku. Aku telah kehilangan kepercayaan pada laki-laki, yang seharusnya
menjadi panutan keluargaku.
“Sudah
dilupain saja, setiap manusia pasti pernah bikin salah. Begitu juga dengan ayahmu.”
Selalu
begitu perkataan ibuku, setiap kali aku menangis di pelukannya. Kukatakan
padanya kalau aku sudah tidak kuat lagi tinggal di rumah. Aku kemudian memilih
untuk tinggal bersama teman. Ibu tidak kuasa lagi mencegah kuatnya tekadku. Bergegas
kukemasi pakaian dan barang-barang. Dengan berat hati ibu melepas kepergianku.
“Mau coba
lagi?” Temanku menyodorkan pil yang sama. Kata dia untuk nenangin diri. Dan aku kembali menegaknya lagi.
Hari demi
hari, tanpa disadari, aku semakin ‘diperbudak’ oleh pil-pil itu. Satu butir sehari
tidak mampu lagi membuatku ‘tenang’. Mulai aku mengkonsumsi dua butir, tiga
butir, empat butir dan terus bertambah. Tidak berhenti di pil, aku mulai beralih
kepada serbuk-serbuk putih, yang juga ditawari temanku. Sesekali diselingi menghisap
‘rokok’ lintingan, yang ditawari oleh teman lain.
Kini
tanpa semua ‘benda-benda’ itu tubuhku mulai terasa sakit. Keringat dingin
keluar di malam hari. Menggigil meski hari terasa panas. Seperti ada dalam neraka.
Berusaha keluar dari masalah, aku malah mendapatkan masalah baru.
Dulu pil
dan serbuk itu bisa aku dapatkan secara gratis. Kini teman-teman tidak mau lagi
berbaik hati untuk berbagi. ‘Benda-benda’ itu kini harus aku beli. Rupiah demi
rupiah terkuras dengan mudah dari tabunganku. Sampai tidak ada lagi rupiah yang
tersisa di sana. Barulah aku sadar, selama ini aku justru telah merusak hidupku
sendiri. Malam itu, aku menggelepar di atas tempat tidur. Merintih kesakitan,
sendirian tanpa teman. Sampai akhirnya semua diselimuti kegelapan. Aku jatuh
pingsan.
Berhari-hari
aku mulai akrab dengan rasa sakit itu. Mulai menyerang semakin sering. Di
tengah rintihan, teringat aku pada sosok ibu. Ingin sekali aku memeluk dia saat
itu, namun tidak bisa kulakukan. Bukannya ibu tidak memperdulikan aku. Berkali-kali
ibu menelpon dan mengirim pesan singkat. Wajar karena berhari-hari aku sudah
tidak pulang. Tidak pula memberi kabar. Aku terlalu malu untuk berbicara dengan
ibu. Aku tak mau lagi menjadi beban untuk ibu. Beban hidupnya sudah terlalu
berat, saat akhirnya memutuskan berpisah dengan suaminya. Yang sudah lama, tidak
lagi aku akui sebagai ayah.
Aku hanya
bisa menangis dan terus menangis. Saat rasa sakit itu makin kuat menyerang
tubuhku.
“Gue sih
bisa bantu, tetapi ada syaratnya...” Sang bandar berucap, sambil menyeringai.
Dia tahu kalau
aku sangat membutuhkan barang dagangannya. Bisa dia lihat dari wajahku yang
pucat, dan tubuhku yang terus saja menggigil. Dia juga tahu aku tidak punya uang
sebagai alat tukar. Aku datang untuk menerima tawaran dia. Tawaran barter yang
pernah terlontar beberapa hari lalu. Kegadisanku ditukar dengan beberapa butir
pil miliknya.
Tergolek kemudian
aku di bawah tindihan sang bandar. Sehabis satu butir pil aku tegak, pakaian
atasku mulai dilucuti olehnya. Menyusul pil kedua dan ketiga, menguak lekuk
tubuhku. Perlahan kesadaran mulai memudar. Dengan cepat kondisiku ada di antara
sadar dan tidak. Samar-samar aku rasakan tangan sang bandar yang mulai
menggerayangi. Sisanya aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku sudah terlalu tinggi
dilanda sensasi.
Saat
tersadar, kudapati diri terbaring di rumah sakit. Pertama yang kulihat adalah
wajah ibuku. Dia terisak dan tidak henti-henti memelukku. “A-ada apa Bu?”
Tanyaku dengan suara parau.
Barulah
aku tahu kalau pada saat kehilangan kesadaran, polisi datang menggerebek rumah
sang bandar. Aku hampir saja over dosis, karena direcoki pil secara berlebihan.
Aksi yang bermula dari laporan ibuku. Ternyata selama berhari-hari ibu berusaha
melacak keberadaanku.
Langsung
aku peluk ibuku. Aku menangis sekencang-kencangnya. Berkali-kali aku ucapkan kata
maaf. Aku bilang kalau aku menyesal. Ibu bilang tidak apa-apa. Justru bersyukur
anak semata wayangnya bisa kembali ke pelukan. Itulah yang terpenting saat ini,
kata dia. Hangatnya pelukan ibu hari itu, membuat aku tak kuasa menahan air
mata. Terima kasih ibu.
***
Beberapa
bulan kemudian, hakim memutuskan aku bersalah atas tindakan penyalah-gunaan narkoba.
Cukup beruntung aku hanya divonis untuk menjalani rehabilitasi. Selama semua proses
itu aku jalani, ibu selalu setia menemani aku. Termasuk disaat-saat kritis, dimana
rasa sakit masih kerap menyerang tubuhku. Dia selalu ada untukku. Seandainya saja
tidak ada ibu, entah apa jadinya hidupku saat ini.
“Ibu,
kamu adalah malaikatku...”
Ibu
tersenyum. “Sekarang tugasmu untuk menjadi malaikat untuk orang lain.” Begitu
pesannya padaku.
Pesan
yang menggerakkan aku untuk terjun menjadi relawan. Ikut serta menyelamatkan
generasi muda bangsa, dari jeratan narkoba.
Denpasar, 31 Oktober 2017.
Cerpen ini diikutkan dalam
kompetisi
#AnAngelNamedMom
Yang diselenggarakan oleh
#LINCID dan @StorialCo
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar