Jumat, 01 Desember 2017

Malaikat Yang Kupanggil Ibu


Ketika rasa sakit itu datang rasanya sungguh menyiksa. Keringat dingin mengucur deras. Tubuh mengejang hebat. Setiap sendi terasa kaku. Setiap syaraf terasa ditusuk-tusuk jarum. Kadang aku mengerang, kadang aku berteriak, agar rasa sakit yang melanda bisa berkurang. Sungguh cobaan yang luar biasa. Semua itu telah jadi ‘rutinitas’, hampir separuh dari hidupku. Pil dan serbuk terlarang yang aku konsumsi adalah penyebabnya.
Ditengah ‘ritual’ penuh kekacauan itu, bersyukur selalu ada dia disisiku. Dialah ibuku. Dialah malaikatku Dia yang dengan sentuhannya dapat menenangkan aku. Genggaman tangannya yang lembut selalu membuatku merasa nyaman. Suara merdunya perlahan-lahan akan membuat aku kembali tenang. Sebuah lagu yang biasa dia dendangkan. Lagu pengantar tidur warisan nenek.
Setiap kali mengingat masa-masa itu, air mataku pasti akan menetes. Masa beberapa tahun ke belakang. Masa kelam dalam hidupku.
Aku memiliki masa lalu yang tidak dapat dibanggakan. Sama sekali tak dapat dibanggakan. Kata orang pilihlah sahabat dekatmu dengan bijak, karena mereka akan mempengaruhi jalan hidupmu. Baik atau buruk jalan yang kamu tempuh, sebagian besar ditentukan oleh siapa yang kamu ajak bergaul. Kini aku mempercayai kata-kata itu. Percaya sekali.
“Cobalah sedikit. Kalau sedikit nggak bakal bikin ketagihan,” bujuk temanku.
Endapan masalah di kepalaku, ditambah beberapa botol minuman keras, membuat aku tidak bisa lagi berpikir jernih. Aku tegak pil warna biru yang dia sodorkan. Beberapa saat efeknya langsung terasa. Aku merasa seperti terbang. Aku merasa seperti melayang. Detik itu juga, semua masalah hidupku seperti menghilang. Tubuhku terasa ringan. Bergerak tanpa beban seiring alunan musik.
Namun, semua sensasi itu hanyalah perasaan semu belaka. Pulang ke rumah, aku harus kembali ke kenyataan hidup. Melihat lagi sosok yang aku benci. Ayahku sendiri. Sosok yang selingkuh dengan rekan-rekan bisnisnya. Tidak hanya sekali, tidak hanya dua kali. Perkawinan dia dan ibu saat ini ada di ujung tanduk. Hanya karena ibu memilih tegar demi kami, rumah tangga mereka masih bertahan. Tidak demikian dengan aku. Aku telah kehilangan kepercayaan pada laki-laki, yang seharusnya menjadi panutan keluargaku.
“Sudah dilupain saja, setiap manusia pasti pernah bikin salah. Begitu juga dengan ayahmu.”
Selalu begitu perkataan ibuku, setiap kali aku menangis di pelukannya. Kukatakan padanya kalau aku sudah tidak kuat lagi tinggal di rumah. Aku kemudian memilih untuk tinggal bersama teman. Ibu tidak kuasa lagi mencegah kuatnya tekadku. Bergegas kukemasi pakaian dan barang-barang. Dengan berat hati ibu melepas kepergianku.
“Mau coba lagi?” Temanku menyodorkan pil yang sama. Kata dia untuk nenangin diri. Dan aku kembali menegaknya lagi.
Hari demi hari, tanpa disadari, aku semakin ‘diperbudak’ oleh pil-pil itu. Satu butir sehari tidak mampu lagi membuatku ‘tenang’. Mulai aku mengkonsumsi dua butir, tiga butir, empat butir dan terus bertambah. Tidak berhenti di pil, aku mulai beralih kepada serbuk-serbuk putih, yang juga ditawari temanku. Sesekali diselingi menghisap ‘rokok’ lintingan, yang ditawari oleh teman lain.
Kini tanpa semua ‘benda-benda’ itu tubuhku mulai terasa sakit. Keringat dingin keluar di malam hari. Menggigil meski hari terasa panas. Seperti ada dalam neraka. Berusaha keluar dari masalah, aku malah mendapatkan masalah baru.
Dulu pil dan serbuk itu bisa aku dapatkan secara gratis. Kini teman-teman tidak mau lagi berbaik hati untuk berbagi. ‘Benda-benda’ itu kini harus aku beli. Rupiah demi rupiah terkuras dengan mudah dari tabunganku. Sampai tidak ada lagi rupiah yang tersisa di sana. Barulah aku sadar, selama ini aku justru telah merusak hidupku sendiri. Malam itu, aku menggelepar di atas tempat tidur. Merintih kesakitan, sendirian tanpa teman. Sampai akhirnya semua diselimuti kegelapan. Aku jatuh pingsan.
Berhari-hari aku mulai akrab dengan rasa sakit itu. Mulai menyerang semakin sering. Di tengah rintihan, teringat aku pada sosok ibu. Ingin sekali aku memeluk dia saat itu, namun tidak bisa kulakukan. Bukannya ibu tidak memperdulikan aku. Berkali-kali ibu menelpon dan mengirim pesan singkat. Wajar karena berhari-hari aku sudah tidak pulang. Tidak pula memberi kabar. Aku terlalu malu untuk berbicara dengan ibu. Aku tak mau lagi menjadi beban untuk ibu. Beban hidupnya sudah terlalu berat, saat akhirnya memutuskan berpisah dengan suaminya. Yang sudah lama, tidak lagi aku akui sebagai ayah.
Aku hanya bisa menangis dan terus menangis. Saat rasa sakit itu makin kuat menyerang tubuhku.
“Gue sih bisa bantu, tetapi ada syaratnya...” Sang bandar berucap, sambil menyeringai.
Dia tahu kalau aku sangat membutuhkan barang dagangannya. Bisa dia lihat dari wajahku yang pucat, dan tubuhku yang terus saja menggigil. Dia juga tahu aku tidak punya uang sebagai alat tukar. Aku datang untuk menerima tawaran dia. Tawaran barter yang pernah terlontar beberapa hari lalu. Kegadisanku ditukar dengan beberapa butir pil miliknya.
Tergolek kemudian aku di bawah tindihan sang bandar. Sehabis satu butir pil aku tegak, pakaian atasku mulai dilucuti olehnya. Menyusul pil kedua dan ketiga, menguak lekuk tubuhku. Perlahan kesadaran mulai memudar. Dengan cepat kondisiku ada di antara sadar dan tidak. Samar-samar aku rasakan tangan sang bandar yang mulai menggerayangi. Sisanya aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku sudah terlalu tinggi dilanda sensasi.
Saat tersadar, kudapati diri terbaring di rumah sakit. Pertama yang kulihat adalah wajah ibuku. Dia terisak dan tidak henti-henti memelukku. “A-ada apa Bu?” Tanyaku dengan suara parau.
Barulah aku tahu kalau pada saat kehilangan kesadaran, polisi datang menggerebek rumah sang bandar. Aku hampir saja over dosis, karena direcoki pil secara berlebihan. Aksi yang bermula dari laporan ibuku. Ternyata selama berhari-hari ibu berusaha melacak keberadaanku.
Langsung aku peluk ibuku. Aku menangis sekencang-kencangnya. Berkali-kali aku ucapkan kata maaf. Aku bilang kalau aku menyesal. Ibu bilang tidak apa-apa. Justru bersyukur anak semata wayangnya bisa kembali ke pelukan. Itulah yang terpenting saat ini, kata dia. Hangatnya pelukan ibu hari itu, membuat aku tak kuasa menahan air mata. Terima kasih ibu.
***
Beberapa bulan kemudian, hakim memutuskan aku bersalah atas tindakan penyalah-gunaan narkoba. Cukup beruntung aku hanya divonis untuk menjalani rehabilitasi. Selama semua proses itu aku jalani, ibu selalu setia menemani aku. Termasuk disaat-saat kritis, dimana rasa sakit masih kerap menyerang tubuhku. Dia selalu ada untukku. Seandainya saja tidak ada ibu, entah apa jadinya hidupku saat ini.
“Ibu, kamu adalah malaikatku...”
Ibu tersenyum. “Sekarang tugasmu untuk menjadi malaikat untuk orang lain.” Begitu pesannya padaku.
Pesan yang menggerakkan aku untuk terjun menjadi relawan. Ikut serta menyelamatkan generasi muda bangsa, dari jeratan narkoba.

Denpasar, 31 Oktober 2017.
Cerpen ini diikutkan dalam kompetisi
#AnAngelNamedMom
Yang diselenggarakan oleh #LINCID dan @StorialCo
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar