Tulisan
saya kali ini mungkin akan terasa agak random. Nggak apa-apa kan? Namanya juga
blog pribadi, bebas dong mau nulis apaan. Asal tidak melanggar norma-norma yang
ada. Tulisan kali ini dimulai dari kedatangan saya menghadiri pernikahan
sepupu. Keponakan dari suaminya tante, namanya sepupu kan? Maaf nih kalau salah.
Pernikahan
diadakan di sebuah pasraman di Ubud, Gianyar. Pernikahan diadakan dengan ritual
agama Hindu, yang dipadukan dengan aliran kepercayaan Anand Krishna. Prosesinya
tidak saya jelaskan lebih lanjut. Takut nanti salah tulis, soalnya sangat
sensitif. Habisnya soal agama dan kepercayaan seperti ini kurang saya kuasai. Saya
beragama Hindu, tetapi jujur pengetahuan saya tentang agama sangat minim. Terutama
soal ritual-ritualnya. Keseringan saya ikut-ikutan sajalah. Katanya gini ya
gini, katanya gitu ya gitu. Bagi saya ritual itu hanyalah formalitas belaka.
Yang terpenting adalah mengaplikasi ajaran agama itu secara nyata. Secara
universal dalam kehidupan sehari-hari. Soal saya dan Tuhan, biar nanti kami
berdua yang hitung-hitungan saat ajal datang.
Balik ke
soal pernikahan. Ada yang unik dari ritual yang saya saksikan. Biasalah kalau
ada yang unik-unik, pasti cepat menarik perhatian saya. Ada satu ritual dimana
kedua mempelai musti mengucap sumpah. Katanya sih sumpah, karena kalau janji nanti bisa diingkari. Bagi saya sih sumpah dan janji sama saja. Keduanya
ya musti ditepati. Analoginya seperti
‘gusur’ dan ‘geser’. Intinya sama-sama dipindahkan kan? Pakai dua kata itu
sebagai contoh, habisnya lagi nge-tren
di sosial media. Itu loh gegara si bapak
pemimpin ibukota hahaha...
Balik lagi ke sumpah yang tadi. Ini tulisan kok jadi nggak
fokus gini ya? Ah, biarin ajalah. Kedua
mempelai diwajibkan mengucapkan tujuh sumpah. Dalam bahasa Indonesia, yang
diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris. Katanya sih dikutip dari salah satu
kitab suci agama Hindu. Entah kitab yang mana. Kan tadi saya sudah mengaku
kalau pengetahuan agama saya sangat kurang. Enam sumpah di awal kurang melekat
di otak saya. Yah intinya: akan selalu
saling jaga, akan tetap saling setia, dalam suka maupun duka, bla, bla,
bla... Nah, kemudian tiba di sumpah yang ketujuh. “Mari kita menjadi
teman...” Ya begitulah kira-kira. Semoga
tidak salah kutip.
Menurut
saya sumpah ketujuh ini unik. “Mari kita menjadi teman...” Dengan mengucap
kata-kata ini, seolah-olah menikah itu jadi terkesan santai. Tidak seruet dan seribet
yang dibayangkan. Kita berkenalan sebagai teman, lalu menikah dan tetap menjadi
teman. Bukan sebuah ikrar kalau kamu adalah milikku, dan aku adalah milikmu. Menikah
itu kan bukanlah sebuah proses jual
beli? Maka tidak ada konsep ‘hak milik’ disana. Anggap saja setelah menikah,
kalau dunia ini sebagai tanah lapang. Mari kita bermain selayaknya teman. Mari
bersenang-senang. Kalau pun nanti timbul ‘insiden’ saat bermain, mari saling
membantu selayaknya teman. Ketika anak-anak sudah hadir. Mari anggap saja
mereka juga teman. Permainan akan jadi semakin ramai dan seru. Sungguh sebuah
konsep pernikahan yang keren, bukan?
Kenapa
mendengar sumpah ini menjadi begitu berkesan bagi saya? Mungkin karena itulah
yang saya cari selama ini. Mungkin itulah yang belum saya temukan. Seorang
teman baik.
Mungkin
itu saja sih dulu. Sebuah tulisan singkat, sekedar sebagai pengingat. Pengingat
untuk kita berdua. Diriku dan dirimu. Meski kita sudah menikah nanti, mari kita
tetap menjadi teman.
Ubud, 20 Desember 2017.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar