Senin, 25 Desember 2017

Mari Kita Menjadi Teman


Tulisan saya kali ini mungkin akan terasa agak random. Nggak apa-apa kan? Namanya juga blog pribadi, bebas dong mau nulis apaan. Asal tidak melanggar norma-norma yang ada. Tulisan kali ini dimulai dari kedatangan saya menghadiri pernikahan sepupu. Keponakan dari suaminya tante, namanya sepupu kan? Maaf nih kalau salah.
Pernikahan diadakan di sebuah pasraman di Ubud, Gianyar. Pernikahan diadakan dengan ritual agama Hindu, yang dipadukan dengan aliran kepercayaan Anand Krishna. Prosesinya tidak saya jelaskan lebih lanjut. Takut nanti salah tulis, soalnya sangat sensitif. Habisnya soal agama dan kepercayaan seperti ini kurang saya kuasai. Saya beragama Hindu, tetapi jujur pengetahuan saya tentang agama sangat minim. Terutama soal ritual-ritualnya. Keseringan saya ikut-ikutan sajalah. Katanya gini ya gini, katanya gitu ya gitu. Bagi saya ritual itu hanyalah formalitas belaka. Yang terpenting adalah mengaplikasi ajaran agama itu secara nyata. Secara universal dalam kehidupan sehari-hari. Soal saya dan Tuhan, biar nanti kami berdua yang hitung-hitungan saat ajal datang.
Balik ke soal pernikahan. Ada yang unik dari ritual yang saya saksikan. Biasalah kalau ada yang unik-unik, pasti cepat menarik perhatian saya. Ada satu ritual dimana kedua mempelai musti mengucap sumpah. Katanya sih sumpah, karena kalau janji nanti bisa diingkari. Bagi saya sih sumpah dan janji sama saja. Keduanya ya musti ditepati. Analoginya seperti ‘gusur’ dan ‘geser’. Intinya sama-sama dipindahkan kan? Pakai dua kata itu sebagai contoh, habisnya lagi nge-tren di sosial media. Itu loh gegara si bapak pemimpin ibukota hahaha...
Balik lagi ke sumpah yang tadi. Ini tulisan kok jadi nggak fokus gini ya? Ah, biarin ajalah. Kedua mempelai diwajibkan mengucapkan tujuh sumpah. Dalam bahasa Indonesia, yang diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris. Katanya sih dikutip dari salah satu kitab suci agama Hindu. Entah kitab yang mana. Kan tadi saya sudah mengaku kalau pengetahuan agama saya sangat kurang. Enam sumpah di awal kurang melekat di otak saya. Yah intinya: akan selalu saling jaga, akan tetap saling setia, dalam suka maupun duka, bla, bla, bla... Nah, kemudian tiba di sumpah yang ketujuh. “Mari kita menjadi teman...” Ya begitulah kira-kira. Semoga tidak salah kutip.
Menurut saya sumpah ketujuh ini unik. “Mari kita menjadi teman...” Dengan mengucap kata-kata ini, seolah-olah menikah itu jadi terkesan santai. Tidak seruet dan seribet yang dibayangkan. Kita berkenalan sebagai teman, lalu menikah dan tetap menjadi teman. Bukan sebuah ikrar kalau kamu adalah milikku, dan aku adalah milikmu. Menikah itu kan bukanlah sebuah proses jual beli? Maka tidak ada konsep ‘hak milik’ disana. Anggap saja setelah menikah, kalau dunia ini sebagai tanah lapang. Mari kita bermain selayaknya teman. Mari bersenang-senang. Kalau pun nanti timbul ‘insiden’ saat bermain, mari saling membantu selayaknya teman. Ketika anak-anak sudah hadir. Mari anggap saja mereka juga teman. Permainan akan jadi semakin ramai dan seru. Sungguh sebuah konsep pernikahan yang keren, bukan?
Kenapa mendengar sumpah ini menjadi begitu berkesan bagi saya? Mungkin karena itulah yang saya cari selama ini. Mungkin itulah yang belum saya temukan. Seorang teman baik.
Mungkin itu saja sih dulu. Sebuah tulisan singkat, sekedar sebagai pengingat. Pengingat untuk kita berdua. Diriku dan dirimu. Meski kita sudah menikah nanti, mari kita tetap menjadi teman.

Ubud, 20 Desember 2017.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar