Kamis, 22 Maret 2018

Sekala Niskala : Interaksi Dunia Nyata Dan Maya


Akhirnya ada film yang bikin tergerak untuk datang ke bioskop. Judulnya Sekala Niskala (The Seen and Unseen). Kenapa saya tertarik? Karena setting-nya mengambil tempat di Bali. Merasa berdosa rasanya sebagai orang Bali kalau tidak menonton. Pemainnya pun sebagian besar adalah orang-orang Bali. Ditambah film karya sutradara Kamila Andini ini meraih penghargaan sebagai “Film Terbaik” dalam Berlin Film Festival atau Berlinale. Semakin yakin saya untuk menonton.

Dari membaca beberapa review, film Sekala Niskala ini seperti bertipe ‘film festival’. Yah tahu sendirilah, film festival itu seperti apa. Pasti jalan ceritanya tidak seperti film-film ‘populer’ pada umumnya. Biasanya memakai format teater, dengan alur cerita memakai simbol-simbol. Minim dialog, lebih mengutamakan kekuatan akting dan ekpresi. Dan memang benar saja dugaan saya tersebut. Film Sekala Niskala, memiliki format mirip seperti film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak. Film Indonesia terakhir yang saya tonton. Mirip sekali.
Peringatan: bagi anda bukan penikmat teater, maka film ini bisa sangat membingungkan, bahkan membosankan.
Bagi saya sendiri film ini menarik. Sebagian besar dialognya memakai bahasa Bali. Begitu pula dengan lagu-lagunya. Tetapi tenang ada terjemahan bahasa Indonesianya kok. Berkisah tentang Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) dan Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih), sepasang kembar buncing (kembar lelaki dan perempuan - red). Mereka berdua adalah pusat utama dari cerita. Meski masih muda, akting keduanya patut diacungi jempol. Ditambah dukungan aktris senior Bali lainnya, seperti Ayu Laksmi dan Happy Salma. Makin meninggikan kualitas film ini.
Suatu hari Tantra melanggar pantangan, dengan mengambil telur dari Daksina (sarana upacara jejahitan di Bali, berbentuk silinder terbuat dari daun kepala tua menyerupai sebuah wadah - red), kemudian meminta Tantri memasaknya. Ketika mereka memakannya, tiba-tiba saja Tantra menghilang. Tantri pun kebingungan mencari sang saudara kembar.
Diceritakan Tantra ditemukan dalam keadaan koma. Lama dirawat di rumah sakit, kondisi Tantra tidak juga kunjung membaik. Malah cenderung terus memburuk. Disinilah konsep sekala niskala menjadi inti cerita. Secara garis besar, di Bali, sekala niskala berarti dunia nyata dan dunia maya. Bisa juga disebut dunia kasat mata, dan dunia tak kasat mata. Di dunia nyata, Tantra memang hanya terbujur kaku, tidak bergerak. Namun, di dunia maya Tantra rutin mengunjungi Tantri. Kedua saudara kembar ini kerap berinteraksi di dunia tak kasat mata. Mereka bercengkerama, bermain, bernyanyi, selayaknya yang biasa mereka lakukan di dunia nyata.
Sampai suatu saat, Tantra mengeluh kepada Tantri. Dia mengeluh tidak lagi bisa merasakan apa-apa. Semuanya mulai terasa dingin dan hampa. Pelan-pelan sosok Tantra mulai jarang muncul. Tantri sadar akan terjadi sesuatu dengan saudaranya itu. Sampai akhirnya, Tantra berpamitan dan sosoknya tidak pernah muncul lagi. Sebuah alur yang sederhana, tetapi mengena.
Film yang satu ini sarat metafora dan simbolik. Beberapa adegan tidak begitu saja menyiratkan makna sebenarnya. Penonton lebih diajak menafsirkan semuanya secara bebas. Terutama ketika menggambarkan interaksi di dunia maya. Misalnya, seperti gambaran Tantra dan Tantri menari pakai ‘kostum’ ayam. Dari yang saya tangkap, adegan itu nampak seperti Tantri yang berusaha melawan takdir. Tantri ingin menarik kembali Tantra, tetapi akhirnya Tantri kalah. Tidak pernah ada yang menang melawan takdir. Begitu pula ketika adegan Tantri memakai ‘kostum’ monyet. Saya menangkap gambaran pergolakan batin Tantri, yang harus menerima ‘kepergian’ Tantra. Benar atau tidak tafsiran itu, saya juga tidak tahu. Mungkin anda akan punya penafsiran lain saat menontonnya.
Sedangkan untuk gambaran dunia nyata, sangatlah indah. Alam Bali digambarkan dengan sangat apik dan mempesona. Ada sawah, gunung, sungai, matahari, bulan, dan lain sebagainya.
Durasi film ini tergolong singkat, paling tidak bagi saya. Hanya 86 menit. Bahkan ketika selesai, saya sampai dibuat kaget. “Loh, sudah selesai?” Karena biasanya alur film ‘populer’ cenderung berbentuk parabola. Naik, puncak, turun, dan selesai. Sedangkan di film ini alurnya linier. Datar, datar, datar, dan selesai. Unik juga sih. Saya sampai tersenyum sendiri.
Apakah film ini layak ditonton? Sangat layak. Bagi anda yang ingin mengetahui sekelumit gaya hidup orang Bali pedesaan, film ini cukup baik dalam penggambarannya. Meski ya sekarang ini di Bali, sebagian besar sudah tidak seperti itu lagi. Makin jarang yang mandi di sungai, makin jarang ditemui pemandangan sawah, dan makin jarang melihat anak main di alam bebas. Dulu, saya cukup beruntung pernah mengalami masa-masa indah tersebut. Di desa saya, Pandak Gede, Tabanan. Tetapi sekarang? Ah sudahlah, kita tidak bisa hidup di masa lalu. Jaman sudah berubah, kita harus bisa menerimanya.
.
Teuku Umar, 21 Maret 2018
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar