Akhirnya
ada film yang bikin tergerak untuk datang ke bioskop. Judulnya Sekala Niskala (The Seen and Unseen). Kenapa saya
tertarik? Karena setting-nya mengambil
tempat di Bali. Merasa berdosa rasanya sebagai orang Bali kalau tidak menonton.
Pemainnya pun sebagian besar adalah orang-orang Bali. Ditambah film karya
sutradara Kamila Andini ini meraih penghargaan sebagai “Film Terbaik” dalam
Berlin Film Festival atau Berlinale. Semakin yakin saya untuk menonton.
Dari
membaca beberapa review, film Sekala
Niskala ini seperti bertipe ‘film festival’. Yah tahu sendirilah, film festival itu seperti apa. Pasti jalan
ceritanya tidak seperti film-film ‘populer’ pada umumnya. Biasanya memakai
format teater, dengan alur cerita memakai simbol-simbol. Minim dialog, lebih
mengutamakan kekuatan akting dan ekpresi. Dan memang benar saja dugaan saya
tersebut. Film Sekala Niskala, memiliki format mirip seperti film Marlina Si
Pembunuh Dalam Empat Babak. Film Indonesia terakhir yang saya tonton. Mirip
sekali.
Peringatan:
bagi anda bukan penikmat teater, maka film ini bisa sangat membingungkan,
bahkan membosankan.
Bagi saya sendiri film ini
menarik. Sebagian besar dialognya memakai bahasa Bali. Begitu pula dengan
lagu-lagunya. Tetapi tenang ada terjemahan bahasa Indonesianya kok. Berkisah
tentang Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) dan Tantri (Ni Kadek Thaly
Titi Kasih), sepasang kembar buncing (kembar lelaki dan perempuan - red). Mereka
berdua adalah pusat utama dari cerita. Meski masih muda, akting keduanya patut
diacungi jempol. Ditambah dukungan aktris senior Bali lainnya, seperti Ayu
Laksmi dan Happy Salma. Makin meninggikan kualitas film ini.
Suatu hari
Tantra melanggar pantangan, dengan mengambil telur dari Daksina (sarana upacara
jejahitan di Bali, berbentuk silinder terbuat dari daun kepala tua menyerupai
sebuah wadah - red), kemudian meminta Tantri memasaknya. Ketika mereka
memakannya, tiba-tiba saja Tantra menghilang. Tantri pun kebingungan mencari
sang saudara kembar.
Diceritakan
Tantra ditemukan dalam keadaan koma. Lama dirawat di rumah sakit, kondisi
Tantra tidak juga kunjung membaik. Malah cenderung terus memburuk. Disinilah
konsep sekala niskala menjadi inti cerita. Secara garis besar, di Bali, sekala
niskala berarti dunia nyata dan dunia maya. Bisa juga disebut dunia kasat mata,
dan dunia tak kasat mata. Di dunia nyata, Tantra memang hanya terbujur kaku, tidak
bergerak. Namun, di dunia maya Tantra rutin mengunjungi Tantri. Kedua saudara
kembar ini kerap berinteraksi di dunia tak kasat mata. Mereka bercengkerama,
bermain, bernyanyi, selayaknya yang biasa mereka lakukan di dunia nyata.
Sampai
suatu saat, Tantra mengeluh kepada Tantri. Dia mengeluh tidak lagi bisa
merasakan apa-apa. Semuanya mulai terasa dingin dan hampa. Pelan-pelan sosok
Tantra mulai jarang muncul. Tantri sadar akan terjadi sesuatu dengan saudaranya
itu. Sampai akhirnya, Tantra berpamitan dan sosoknya tidak pernah muncul lagi.
Sebuah alur yang sederhana, tetapi mengena.
Film yang
satu ini sarat metafora dan simbolik. Beberapa adegan tidak begitu saja menyiratkan
makna sebenarnya. Penonton lebih diajak menafsirkan semuanya secara bebas. Terutama
ketika menggambarkan interaksi di dunia maya. Misalnya, seperti gambaran Tantra
dan Tantri menari pakai ‘kostum’ ayam. Dari yang saya tangkap, adegan itu
nampak seperti Tantri yang berusaha melawan takdir. Tantri ingin menarik
kembali Tantra, tetapi akhirnya Tantri kalah. Tidak pernah ada yang menang
melawan takdir. Begitu pula ketika adegan Tantri memakai ‘kostum’ monyet. Saya
menangkap gambaran pergolakan batin Tantri, yang harus menerima ‘kepergian’
Tantra. Benar atau tidak tafsiran itu, saya juga tidak tahu. Mungkin anda akan punya
penafsiran lain saat menontonnya.
Sedangkan
untuk gambaran dunia nyata, sangatlah indah. Alam Bali digambarkan dengan sangat
apik dan mempesona. Ada sawah, gunung, sungai, matahari, bulan, dan lain
sebagainya.
Durasi
film ini tergolong singkat, paling tidak bagi saya. Hanya 86 menit. Bahkan
ketika selesai, saya sampai dibuat kaget. “Loh,
sudah selesai?” Karena biasanya alur film ‘populer’ cenderung berbentuk
parabola. Naik, puncak, turun, dan selesai. Sedangkan di film ini alurnya
linier. Datar, datar, datar, dan selesai. Unik juga sih. Saya sampai tersenyum
sendiri.
Apakah
film ini layak ditonton? Sangat layak. Bagi anda yang ingin mengetahui
sekelumit gaya hidup orang Bali pedesaan, film ini cukup baik dalam penggambarannya.
Meski ya sekarang ini di Bali, sebagian besar sudah tidak seperti itu lagi. Makin
jarang yang mandi di sungai, makin jarang ditemui pemandangan sawah, dan makin
jarang melihat anak main di alam bebas. Dulu, saya cukup beruntung pernah
mengalami masa-masa indah tersebut. Di desa saya, Pandak Gede, Tabanan. Tetapi
sekarang? Ah sudahlah, kita tidak
bisa hidup di masa lalu. Jaman sudah berubah, kita harus bisa menerimanya.
.
Teuku Umar, 21 Maret 2018
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar