Senin, 02 April 2018

Belajar Jarak Jauh Bersama Ibu Suri


Entah kenapa, tanggal 1 April yang lalu saya iseng membuka Instagram. Padahal jarang banget akun yang satu ini saya buka. Lagian buat apa coba. Punya tampang pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang jelek. Nggak pernah nongkrong di tempat-tempat mahal. Nggak pernah gaul sama artis atau orang terkenal. Nggak punya pakaian ber-merk buat dipamerin. Pokoknya nggak memenuhi syarat buat jadi Instagram-ers deh. Eh, eh, fokus, ini mau cerita apaan sih sebenernya???
Sumber: StorialCo IG
Maaf, maaf, ayo kita kembali ke topik. Waktu buka Instagram, saya dapati akun StorialCo, yang saya ikuti, sedang melakukan ‘siaran langsung’. Istilah kerennya, Instalive. Bukan sekedar siaran langsung biasa saja loh, karena menampilkan Kelas Menulis: Creative Writing 101 with Dee Lestari. Sang Ibu Suri, kalau pinjam istilah StorialCo dan NulisBuku. Saya tahu kalau diadakan sayembara menulis khusus, untuk bisa terpilih mengikuti kelas ini. Hanya saja, saya tidak ikut karena belum siap anggaran buat keluar kota. Kan tadi di awal sudah ngaku miskin hehehe...
Awalnya saya pikir siaran langsung ini akan berlangsung singkat. Kirain admin StorialCo cuma mau pamer doang, atau mau bikin iri kita-kita yang tidak ikutan. Eh, usut punya usut, kok siaran langsungnya nggak berhenti-berhenti. Baik banget loh admin StorialCo ini, sumpah. Saya bisa bayangin, bagaimana pegelnya itu tangan pegang HP seharian. Nggak goyang-goyang loh, stabil sampai akhir. Keren deh pokoknya! Maka pada kesempatan ini, saya sebagai salah satu penikmat ‘siaran langsung’ hari itu, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya buat semua admin StorialCo. Terima kasih, terima kasih, dan terima kasih...
Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Mba Dee, di Kelas Menulis StorialCo, kebanyakan sudah sering saya dengar dalam workshop-workshop sejenis. Bagaimana mencari ide, mengolah ide, hingga terwujud menjadi sebuah karya. Membuat kalimat pembuka yang kuat sebagai awal tulisan, bagaimana melakukan swa-sunting, dan hal-hal dasar lainnya. Maka yang saya fokuskan justru ke hal-hal yang lebih ‘personal’. Hal-hal yang ‘Mba Dee’ banget deh pokoknya. Jujur saya sangat mengagumi gaya menulis Mba Dee. Bagaimana dia menabur ‘perangkap’ atau ‘umpan’ di setiap bab, bahkan di setiap halaman novelnya. Bagaimana dia membuat pembacanya ‘sakaw’, untuk terus membuka lembar demi lembar. Bagaimana dia bisa menghipnotis otak pembacanya, sehingga muncul bisikan ‘selembar lagi’, ‘selembar lagi’, dan seterusnya...
Ada beberapa hal ‘personal’ yang saya catat, dari sekian banyak hal yang disampaikan oleh Mba Dee. Pertama, Mba Dee mempersonifikasi IDE sebagai ORANG YANG SEDANG MENCARI JODOH. Ketika penulis lain menekankan bagaimana mencari ide, Mba Dee justru mengatakan kalau ide itulah yang mencari kita. Tidak hanya mencari, ide tersebut juga akan memilih kita, apabila dia merasakan adanya kecocokan dengan kita. Persis seperti orang yang sedang mencari jodoh. Ide adalah benda abstrak yang ingin memiliki wujud. Melalui kitalah dia akan berwujud, entah itu cerpen, novel, puisi, lukisan, dan lain-lain. Pertanyaannya kini, apakah ide tersebut dan kita berjodoh atau tidak? Unik dan ada benarnya.
Berkali-kali di otak saya berseliweran macam-macam ide tulisan. Mungkin ketika itu sang ide sedang melakukan flirting pada saya. Beberapa ide itu (mungkin) ternyata memang berjodoh dengan saya, sehingga mereka akhirnya memiliki wujud nyata. Salah satunya, cerpen-cerpen yang pernah saya rilis di blog. Sedangkan beberapa lainnya, hilang begitu saja, karena (mungkin) belum berjodoh dengan saya. Persis seperti wanita-wanita yang pernah hadir dalam hidup saya, yang kerap hilang begitu saja. Maaf, maaf, kebiasaan curcol sulit sekali dihilangkan...
Kedua, Mba Dee menganalogikan novelnya sebagai sebuah SEMESTA. Kita tinggal di suatu semesta, dan novel kita adalah sebuah semesta yang berbeda. Menulis sebuah novel berarti kita akan mengajak pembaca masuk ke semesta kita. Kalimat atau paragraf pertama adalah portal dari semesta tersebut. Sedangkan paragraf lainnya adalah daya gravitasi, yang menarik si pembaca untuk terus berada dalam semesta kita. Bagaimana kita memainkan konflik, deskripsi, narasi, dialog, akan mempengaruhi kekuatan dari daya gravitasi tersebut. “Salah satu ciri cerita berhasil: memikat perhatian pembaca sejak awal, mengikat keberpihakan pembaca hingga akhir.”
Selain itu, Mba Dee juga menganalogikan novel seperti sebuah mobil. Dialog adalah pedal gas, deskripsi adalah rem, tanda baca adalah klakson. Terlalu sering menginjak pedal gas kurang bagus. Terlalu sering menginjak rem kurang bagus. Begitu pula terlalu sering menekan klakson. Kita harus pintar-pintar memainkan semuanya, sehingga mobil kita bisa melaju dengan baik dan sempurna.
Ketiga, apa lagi yah? Banyak deh, kalau ditulis semua bisa keriting nih jari. Kutipan-kutipan penting dari Mba Dee, bisa dibaca di lini masa Twitter StorialCo dan NulisBuku. (Semoga saja rekaman dari Kelas Menulis ini diunggah juga di Youtube, semoga). Yang jelas, ada satu kutipan yang layak dijadikan penutup tulisan ini. Kutipan tersebut adalah: “Fiksi yang berhasil akan terasa seperti nonfiksi. Sebaliknya, nonfiksi yang berhasil akan terasa seperti fiksi.”
Terima kasih sekali lagi StorialCo dan NulisBuku. Terima kasih juga untuk ilmunya Mba Dee, meski tidak bertatap muka langsung. Oya, cerita kejahilan ikutan lomba nulis pakai nama adik bikin ngakak. Sumpah, kebayang ekspresi (lucu) si adik (terjebak) dalam rombongan penulis, wisata ke Carita hehehe...
.
Instagram, April Mop 2018.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar