Entah
kenapa, tanggal 1 April yang lalu saya iseng membuka Instagram. Padahal jarang
banget akun yang satu ini saya buka. Lagian buat apa coba. Punya tampang
pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang jelek. Nggak pernah nongkrong di tempat-tempat
mahal. Nggak pernah gaul sama artis atau orang terkenal. Nggak punya pakaian
ber-merk buat dipamerin. Pokoknya nggak memenuhi syarat buat jadi Instagram-ers
deh. Eh, eh, fokus, ini mau cerita apaan sih sebenernya???
Sumber: StorialCo IG |
Maaf,
maaf, ayo kita kembali ke topik. Waktu buka Instagram, saya dapati akun
StorialCo, yang saya ikuti, sedang melakukan ‘siaran langsung’. Istilah
kerennya, Instalive. Bukan sekedar siaran
langsung biasa saja loh, karena menampilkan Kelas Menulis: Creative Writing 101
with Dee Lestari. Sang Ibu Suri, kalau pinjam istilah StorialCo dan NulisBuku. Saya
tahu kalau diadakan sayembara menulis khusus, untuk bisa terpilih mengikuti kelas
ini. Hanya saja, saya tidak ikut karena belum siap anggaran buat keluar kota.
Kan tadi di awal sudah ngaku miskin hehehe...
Awalnya
saya pikir siaran langsung ini akan berlangsung singkat. Kirain admin StorialCo
cuma mau pamer doang, atau mau bikin iri kita-kita yang tidak ikutan. Eh, usut punya usut, kok siaran
langsungnya nggak berhenti-berhenti. Baik banget loh admin StorialCo ini,
sumpah. Saya bisa bayangin, bagaimana pegelnya itu tangan pegang HP seharian. Nggak
goyang-goyang loh, stabil sampai akhir. Keren deh pokoknya! Maka pada
kesempatan ini, saya sebagai salah satu penikmat ‘siaran langsung’ hari itu,
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya buat semua admin StorialCo.
Terima kasih, terima kasih, dan terima kasih...
Sebenarnya
apa yang disampaikan oleh Mba Dee, di Kelas Menulis StorialCo, kebanyakan sudah
sering saya dengar dalam workshop-workshop sejenis. Bagaimana mencari ide,
mengolah ide, hingga terwujud menjadi sebuah karya. Membuat kalimat pembuka
yang kuat sebagai awal tulisan, bagaimana melakukan swa-sunting, dan hal-hal
dasar lainnya. Maka yang saya fokuskan justru ke hal-hal yang lebih ‘personal’.
Hal-hal yang ‘Mba Dee’ banget deh pokoknya. Jujur saya sangat mengagumi gaya
menulis Mba Dee. Bagaimana dia menabur ‘perangkap’ atau ‘umpan’ di setiap bab,
bahkan di setiap halaman novelnya. Bagaimana dia membuat pembacanya ‘sakaw’, untuk terus membuka lembar demi
lembar. Bagaimana dia bisa menghipnotis otak pembacanya, sehingga muncul
bisikan ‘selembar lagi’, ‘selembar lagi’, dan seterusnya...
Ada beberapa hal ‘personal’
yang saya catat, dari sekian banyak hal yang disampaikan oleh Mba Dee. Pertama,
Mba Dee mempersonifikasi IDE sebagai ORANG YANG SEDANG MENCARI JODOH. Ketika penulis
lain menekankan bagaimana mencari ide, Mba Dee justru mengatakan kalau ide
itulah yang mencari kita. Tidak hanya mencari, ide tersebut juga akan memilih
kita, apabila dia merasakan adanya kecocokan dengan kita. Persis seperti orang
yang sedang mencari jodoh. Ide adalah benda abstrak yang ingin memiliki wujud.
Melalui kitalah dia akan berwujud, entah itu cerpen, novel, puisi, lukisan, dan
lain-lain. Pertanyaannya kini, apakah ide tersebut dan kita berjodoh atau
tidak? Unik dan ada benarnya.
Berkali-kali
di otak saya berseliweran macam-macam ide tulisan. Mungkin ketika itu sang ide
sedang melakukan flirting pada saya. Beberapa
ide itu (mungkin) ternyata memang berjodoh dengan saya, sehingga mereka akhirnya
memiliki wujud nyata. Salah satunya, cerpen-cerpen yang pernah saya rilis di
blog. Sedangkan beberapa lainnya, hilang begitu saja, karena (mungkin) belum
berjodoh dengan saya. Persis seperti wanita-wanita yang pernah hadir dalam
hidup saya, yang kerap hilang begitu saja. Maaf, maaf, kebiasaan curcol sulit
sekali dihilangkan...
Kedua, Mba
Dee menganalogikan novelnya sebagai sebuah SEMESTA. Kita tinggal di suatu semesta, dan novel kita adalah sebuah semesta yang berbeda. Menulis sebuah
novel berarti kita akan mengajak pembaca masuk ke semesta kita. Kalimat atau
paragraf pertama adalah portal dari semesta tersebut. Sedangkan paragraf
lainnya adalah daya gravitasi, yang menarik si pembaca untuk terus berada dalam
semesta kita. Bagaimana kita memainkan konflik, deskripsi, narasi, dialog, akan
mempengaruhi kekuatan dari daya gravitasi tersebut. “Salah satu ciri cerita berhasil:
memikat perhatian pembaca sejak awal, mengikat keberpihakan pembaca hingga
akhir.”
Selain
itu, Mba Dee juga menganalogikan novel seperti sebuah mobil. Dialog adalah
pedal gas, deskripsi adalah rem, tanda baca adalah klakson. Terlalu sering
menginjak pedal gas kurang bagus. Terlalu sering menginjak rem kurang bagus.
Begitu pula terlalu sering menekan klakson. Kita harus pintar-pintar memainkan
semuanya, sehingga mobil kita bisa melaju dengan baik dan sempurna.
Ketiga, apa
lagi yah? Banyak deh, kalau ditulis
semua bisa keriting nih jari. Kutipan-kutipan penting dari Mba Dee, bisa dibaca
di lini masa Twitter StorialCo dan NulisBuku. (Semoga saja rekaman dari Kelas
Menulis ini diunggah juga di Youtube, semoga). Yang jelas, ada satu kutipan yang
layak dijadikan penutup tulisan ini. Kutipan tersebut adalah: “Fiksi yang
berhasil akan terasa seperti nonfiksi. Sebaliknya, nonfiksi yang berhasil akan
terasa seperti fiksi.”
Terima
kasih sekali lagi StorialCo dan NulisBuku. Terima kasih juga untuk ilmunya Mba
Dee, meski tidak bertatap muka langsung. Oya, cerita kejahilan ikutan lomba nulis
pakai nama adik bikin ngakak. Sumpah, kebayang ekspresi (lucu) si adik (terjebak)
dalam rombongan penulis, wisata ke Carita hehehe...
.
Instagram, April Mop 2018.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar