Mau bahas
soal buku aahh... Buku yang kali ini
berjudul ‘The Lady Escort’. Entah apa yang ada di benak anda mendengar istilah ‘lady escort’, apakah positif atau
negatif? Saat ini, istilah ‘lady escort’
telah mengalami pergeseran makna. Dari hasil browsing-browsing ringan, kata ‘escort’
ini berasal dari bahasa Inggris, yang berarti pendamping. Pekerjaan ‘escort’ berawal muncul di Italia, dimana
pengusaha wanita butuh pendamping (a.k.a pengawal) ketika harus melakukan
transaksi bisnis di malam hari. Iya, dahulu pekerjaan ‘escort’ lebih banyak dilakukan pria.
Lady Escort |
Berkembang,
berkembang, berkembang, pengusaha pria ikut-ikutan menggunakan jasa ‘escort’. Bedanya,
tugas ‘escort’ wanita ini adalah
mendampingi klien dari si pengusaha. Itu pun hanya sebatas menemani jalan atau
makan. Dan kini konsep ‘escort’
menjadi terkesan negatif, dimana digunakan untuk menggambarkan pria/wanita penghibur
(a.k.a kupu-kupu malam). Entah kapan istilah ‘escort’ ini mengalami pergeseran ‘rasa bahasa’.
Apapun
makna ‘escort’ yang anda bayangkan,
buku ‘The Lady Escort’ bukanlah menceritakan kehidupan seorang wanita
penghibur. Buku ini berkisah tentang Kinanti Anjani, alias Jani, alias Kinanti.
Yang secara ‘tidak sengaja’, terikat kontrak dengan Pratama Aditrya Tjitro,
alias Tama. Kontrak untuk menjadi ‘escort’,
alias pendamping, alias calon tunangan pura-pura. Kalau anda terbayang film ‘The
Proposal’? Yoi, mirip-mirip seperti
itulah alur ceritanya.
Sebelum
membahas soal isi buku, saya punya sedikit cerita menarik soal buku ini. Saya
membeli buku ‘The Lady Escort’ di Gramedia - Matahari Duta Plaza (ini bukan
promosi, musti disebut karena penting dalam cerita). Iseng saja ke sana, soalnya
lagi nggak ada kerjaan. Tidak ada sebab khusus kenapa saya memilih buku ini.
Mungkin karena di plastiknya tertempel ‘dilengkapi tanda tangan penulis’, dan
sampulnya bagus. Iya, sesederhana itu. Singkat cerita, setelah dibeli, buku ini
tergeletak seminggu di rumah tanpa tersentuh. Biasalah penyakit lama saya, yang
sama sekali tidak layak ditiru. Ketika saya mulai membaca, sampai di halaman
100 sekian, ternyata halaman bukunya kacau. Kembali ke halaman 50-an, dengan
isi yang sama.
Waduh, ini buku kenapa sih? Runtuk saya dalam hati.
Terpaksa saya
balik lagi ke Gramedia, berniat untuk menukarnya dengan buku baru. Saya datang
tanpa nota pembelian, yang sudah terlanjur di buang. NOTE PENTING: Belajar dari
pengalaman ini bisa saya beri saran, ada baiknya menyimpan nota pembelian buku,
paling tidak sampai anda selesai membacanya. PENTING BANGET!
Datang
tanpa nota pembelian, saya tidak punya ekspektasi apa-apa. Pasrahlah pokoknya,
seperti lagi ngedeketin cewek cakep. Pokoknya, sudah siap ditolak lahir batin
deh. Tapi, tapi, eh tetapi, waktu
berbincang dengan costumer service Gramedia,
saya malah diterima dengan ramah.
“Boleh
ditukar kok, tapi musti dicariin dulu masih ada stoknya tidak,” begitu kata
dia.
Masih ada
harapan rupanya, meski tetap harap-harap cemas. Baru saya ketahui ternyata ada
buku yang numpang ‘nitip’ saja di Gramedia. Itu pun dengan durasi terbatas. Kalau
durasi habis, terus belum laku, ya dikirim balik ke penerbit atau penulis. Biasanya
buku-buku yang ‘belum punya nama’. Sebagai penulis (ini klaim pribadi, dunia belum mengakui), saya cukup sedih
mendengar itu. Tapi tetep sih punya cita-cita, pengen (satu ajaaaa...) buku saya
ada mejeng di Gramedia.
Oke, oke, fokus, fokus. Mas-mas dan mbak-mbak staf Gramedia pun dikerahkan mencari ‘The Lady
Escort’ di rak buku. Sepuluh menit masih semangat. Lewat lima belas menit,
wajah-wajah mereka mulai was-was. Saya putuskan untuk membantu mereka. Satu jam
lewat, si buku incaran ternyata tidak kunjung diketemukan. Bongkar-bongkar dus
buku lama, juga tidak ketemu. ‘The Lady Escort’ seperti hilang ditelan bumi. Mas-mas
dan mbak-mbak ini tidak jua menyerah. Salut saya melihat kegigihan mereka. Bahkan,
ada satu mas sampai menelepon temannya yang lagi liburan. Alhasil, si mas
dimarahin di telpon. Kasihan banget deh pokoknya.
Merasa iba
melihat mereka, dan sebelum mereka bikin laporan kehilangan ke polisi (ini cuma
khayalan liar kepala saya saja), saya pun menghampiri costumer service lagi.
“Bukunya
saya titip saja di sini ya, nanti dicariin saja pelan-pelan.” Dan nomor telepon
saya pun dicatat. Kata dia, akan menelepon kalau bukunya ketemu.
Kembali
saya tidak ber-ekspektasi apa-apa. Kalau ketemu syukur, kalau tidak ketemu ya
sudah saya ikhlaskan saja. Mungkin saya tidak berjodoh dengan ‘The Lady
Escort’. Lagi pula, hari itu sudah mepet sekali dengan liburan panjang lebaran.
Waktu-waktu yang rawan bikin orang ‘lupa’. Pokoknya, persis seperti lagi nunggu
jawaban dari gebetan gitu deh... Diterima anugerah, nggak diterima ya sadar
diri saja...
Selang
seminggu, persis setelah liburan Idul Fitri selesai, telepon saya berbunyi.
Ternyata dari Gramedia yang memberitahu kalau buku pengganti ‘The Lady Escort’
sudah dapat diambil. Itu pun ketika saya ambil tidak dikenakan biaya. Luar
biasa memang pelayanan Gramedia. Lima jempol deh pokoknya!
Cuma ada
konsekuensinya juga sih. Buku pengganti ternyata tidak ada tanda tangan
penulisnya. Tetapi tidak apa-apa. Siapa tahu ada jodoh dengan penulisnya,
Kinanti WP, saya bisa langsung minta tanda tangannya. Btw, kebetulan atau nggak, kok nama tokoh utama dan penulisnya sama
ya? Hhmmm...
Yah, itulah sedikit
cerita di belakang pembelian buku ‘The Lady Escort’. Menarik bukan? Atau sama
sekali nggak penting? Hehehehe
Balik ke
buku, atau sebut saja novel ‘The Lady Escort’. Novel ini diterbitkan oleh
Kubusmedia, dimana novel yang saya beli adalah cetakan pertama, tahun 2018. Terdiri
dari 194 halaman, di luar halaman tambahan. Dari pengantar penulis, ternyata
novel ini awalnya diterbitkan melalui media Wattpad. Masih dari halaman yang
sama, diutarakan kalau penulis novel ini mengidap dialeksia. Browsing-browsing ringan, dialeksia
adalah suatu gangguan proses belajar, dimana seseorang mengalami kesulitan
membaca, menulis, atau mengeja. Penderita akan mengalami kesulitan dalam
mengidentifitasi bagaimana kata-kata yang diucapkan harus diubah menjadi bentuk
huruf dan kalimat, dan sebaliknya.
Membaca
itu saya kaget. Keren ini penulis, pasti dia telah bekerja keras demi novel
ini. Saya pun jadi semangat membaca alur ceritanya. Oya, ada yang menarik di setiap halaman novel. Setiap lembar
halaman dilengkapi corak gambar. Tidak pernah saya membaca novel dengan halaman
bercorak seperti ini. Biasanya polos-polos saja. Bagus juga sih. Segar di mata.
Sebagai
penderita dialeksia, alur novel ‘The Lady Escort’ ini sangat mengalir. Sangat ringan
dan mudah dimengerti. Entah benar atau tidak, sepertinya ketika menulis si
penulis membayangkan dirinyalah sebagai tokoh utama. Maka dari itu dia memakai
nama Kinanti, sebagai tokoh utama, yang notabene merupakan namanya sendiri.
Lika-liku, naik turun emosi Jani dan Tama, yang terikat kontrak ‘kerja’,
diceritakan dengan baik. Tama butuh Jani untuk menjadi tunangan pura-puranya.
Tama membutuhkan Jani, agar proses mendapat hak asuh anaknya bisa berjalan
lancar. Istri Tama telah meninggal. Namun, sebelum meninggal dia membuat surat
warisan, yang isinya Tama musti menikah dulu, baru dia bisa memperoleh hak
asuh. Salah satu dari masa lalu Tama yang kelam. Di sisi lain, Jani sendiri ternyata
punya masa lalu yang tidak kalah kelam. Kepura-puraan yang berujung asrama
inilah yang menjadi kekuatan dari cerita.
Sisa
ceritanya, dibeli sendiri saja ya novelnya. Bagus kok. Beneran. Mau pinjam
novelnya dulu juga boleh, asal ingat dikembalikan.
Saya
memang sedikit anti dengan novel tema cinta-cintaan seperti ini. Merasa tidak
realistis saja dengan dunia nyata. Namun, tidak ada salahnya mulai membuka diri
untuk tema cinta. Anggap saja tambahan referensi dalam menulis. Seperti
kata-kata bijak, sebelum mulai menulis banyak-banyaklah membaca. Baca apa saja.
.
My Room, 25 Juni 2018.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar