Senin, 25 Juni 2018

The Lady Escort: Kontrak Kerja Yang Berakhir Asmara


Mau bahas soal buku aahh... Buku yang kali ini berjudul ‘The Lady Escort’. Entah apa yang ada di benak anda mendengar istilah ‘lady escort’, apakah positif atau negatif? Saat ini, istilah ‘lady escort’ telah mengalami pergeseran makna. Dari hasil browsing-browsing ringan, kata ‘escort’ ini berasal dari bahasa Inggris, yang berarti pendamping. Pekerjaan ‘escort’ berawal muncul di Italia, dimana pengusaha wanita butuh pendamping (a.k.a pengawal) ketika harus melakukan transaksi bisnis di malam hari. Iya, dahulu pekerjaan ‘escort’ lebih banyak dilakukan pria.
Lady Escort
Berkembang, berkembang, berkembang, pengusaha pria ikut-ikutan menggunakan jasa ‘escort’. Bedanya, tugas ‘escort’ wanita ini adalah mendampingi klien dari si pengusaha. Itu pun hanya sebatas menemani jalan atau makan. Dan kini konsep ‘escort’ menjadi terkesan negatif, dimana digunakan untuk menggambarkan pria/wanita penghibur (a.k.a kupu-kupu malam). Entah kapan istilah ‘escort’ ini mengalami pergeseran ‘rasa bahasa’.
Apapun makna ‘escort’ yang anda bayangkan, buku ‘The Lady Escort’ bukanlah menceritakan kehidupan seorang wanita penghibur. Buku ini berkisah tentang Kinanti Anjani, alias Jani, alias Kinanti. Yang secara ‘tidak sengaja’, terikat kontrak dengan Pratama Aditrya Tjitro, alias Tama. Kontrak untuk menjadi ‘escort’, alias pendamping, alias calon tunangan pura-pura. Kalau anda terbayang film ‘The Proposal’? Yoi, mirip-mirip seperti itulah alur ceritanya.
Sebelum membahas soal isi buku, saya punya sedikit cerita menarik soal buku ini. Saya membeli buku ‘The Lady Escort’ di Gramedia - Matahari Duta Plaza (ini bukan promosi, musti disebut karena penting dalam cerita). Iseng saja ke sana, soalnya lagi nggak ada kerjaan. Tidak ada sebab khusus kenapa saya memilih buku ini. Mungkin karena di plastiknya tertempel ‘dilengkapi tanda tangan penulis’, dan sampulnya bagus. Iya, sesederhana itu. Singkat cerita, setelah dibeli, buku ini tergeletak seminggu di rumah tanpa tersentuh. Biasalah penyakit lama saya, yang sama sekali tidak layak ditiru. Ketika saya mulai membaca, sampai di halaman 100 sekian, ternyata halaman bukunya kacau. Kembali ke halaman 50-an, dengan isi yang sama.
Waduh, ini buku kenapa sih? Runtuk saya dalam hati.
Terpaksa saya balik lagi ke Gramedia, berniat untuk menukarnya dengan buku baru. Saya datang tanpa nota pembelian, yang sudah terlanjur di buang. NOTE PENTING: Belajar dari pengalaman ini bisa saya beri saran, ada baiknya menyimpan nota pembelian buku, paling tidak sampai anda selesai membacanya. PENTING BANGET!
Datang tanpa nota pembelian, saya tidak punya ekspektasi apa-apa. Pasrahlah pokoknya, seperti lagi ngedeketin cewek cakep. Pokoknya, sudah siap ditolak lahir batin deh. Tapi, tapi, eh tetapi, waktu berbincang dengan costumer service Gramedia, saya malah diterima dengan ramah.
“Boleh ditukar kok, tapi musti dicariin dulu masih ada stoknya tidak,” begitu kata dia.
Masih ada harapan rupanya, meski tetap harap-harap cemas. Baru saya ketahui ternyata ada buku yang numpang ‘nitip’ saja di Gramedia. Itu pun dengan durasi terbatas. Kalau durasi habis, terus belum laku, ya dikirim balik ke penerbit atau penulis. Biasanya buku-buku yang ‘belum punya nama’. Sebagai penulis (ini klaim pribadi, dunia belum mengakui), saya cukup sedih mendengar itu. Tapi tetep sih punya cita-cita, pengen (satu ajaaaa...) buku saya ada mejeng di Gramedia.
Oke, oke, fokus, fokus. Mas-mas dan mbak-mbak staf Gramedia pun dikerahkan mencari ‘The Lady Escort’ di rak buku. Sepuluh menit masih semangat. Lewat lima belas menit, wajah-wajah mereka mulai was-was. Saya putuskan untuk membantu mereka. Satu jam lewat, si buku incaran ternyata tidak kunjung diketemukan. Bongkar-bongkar dus buku lama, juga tidak ketemu. ‘The Lady Escort’ seperti hilang ditelan bumi. Mas-mas dan mbak-mbak ini tidak jua menyerah. Salut saya melihat kegigihan mereka. Bahkan, ada satu mas sampai menelepon temannya yang lagi liburan. Alhasil, si mas dimarahin di telpon. Kasihan banget deh pokoknya.
Merasa iba melihat mereka, dan sebelum mereka bikin laporan kehilangan ke polisi (ini cuma khayalan liar kepala saya saja), saya pun menghampiri costumer service lagi.
“Bukunya saya titip saja di sini ya, nanti dicariin saja pelan-pelan.” Dan nomor telepon saya pun dicatat. Kata dia, akan menelepon kalau bukunya ketemu.
Kembali saya tidak ber-ekspektasi apa-apa. Kalau ketemu syukur, kalau tidak ketemu ya sudah saya ikhlaskan saja. Mungkin saya tidak berjodoh dengan ‘The Lady Escort’. Lagi pula, hari itu sudah mepet sekali dengan liburan panjang lebaran. Waktu-waktu yang rawan bikin orang ‘lupa’. Pokoknya, persis seperti lagi nunggu jawaban dari gebetan gitu deh... Diterima anugerah, nggak diterima ya sadar diri saja...
Selang seminggu, persis setelah liburan Idul Fitri selesai, telepon saya berbunyi. Ternyata dari Gramedia yang memberitahu kalau buku pengganti ‘The Lady Escort’ sudah dapat diambil. Itu pun ketika saya ambil tidak dikenakan biaya. Luar biasa memang pelayanan Gramedia. Lima jempol deh pokoknya!
Cuma ada konsekuensinya juga sih. Buku pengganti ternyata tidak ada tanda tangan penulisnya. Tetapi tidak apa-apa. Siapa tahu ada jodoh dengan penulisnya, Kinanti WP, saya bisa langsung minta tanda tangannya. Btw, kebetulan atau nggak, kok nama tokoh utama dan penulisnya sama ya? Hhmmm...
Yah, itulah sedikit cerita di belakang pembelian buku ‘The Lady Escort’. Menarik bukan? Atau sama sekali nggak penting? Hehehehe
Balik ke buku, atau sebut saja novel ‘The Lady Escort’. Novel ini diterbitkan oleh Kubusmedia, dimana novel yang saya beli adalah cetakan pertama, tahun 2018. Terdiri dari 194 halaman, di luar halaman tambahan. Dari pengantar penulis, ternyata novel ini awalnya diterbitkan melalui media Wattpad. Masih dari halaman yang sama, diutarakan kalau penulis novel ini mengidap dialeksia. Browsing-browsing ringan, dialeksia adalah suatu gangguan proses belajar, dimana seseorang mengalami kesulitan membaca, menulis, atau mengeja. Penderita akan mengalami kesulitan dalam mengidentifitasi bagaimana kata-kata yang diucapkan harus diubah menjadi bentuk huruf dan kalimat, dan sebaliknya.
Membaca itu saya kaget. Keren ini penulis, pasti dia telah bekerja keras demi novel ini. Saya pun jadi semangat membaca alur ceritanya. Oya, ada yang menarik di setiap halaman novel. Setiap lembar halaman dilengkapi corak gambar. Tidak pernah saya membaca novel dengan halaman bercorak seperti ini. Biasanya polos-polos saja. Bagus juga sih. Segar di mata.
Sebagai penderita dialeksia, alur novel ‘The Lady Escort’ ini sangat mengalir. Sangat ringan dan mudah dimengerti. Entah benar atau tidak, sepertinya ketika menulis si penulis membayangkan dirinyalah sebagai tokoh utama. Maka dari itu dia memakai nama Kinanti, sebagai tokoh utama, yang notabene merupakan namanya sendiri. Lika-liku, naik turun emosi Jani dan Tama, yang terikat kontrak ‘kerja’, diceritakan dengan baik. Tama butuh Jani untuk menjadi tunangan pura-puranya. Tama membutuhkan Jani, agar proses mendapat hak asuh anaknya bisa berjalan lancar. Istri Tama telah meninggal. Namun, sebelum meninggal dia membuat surat warisan, yang isinya Tama musti menikah dulu, baru dia bisa memperoleh hak asuh. Salah satu dari masa lalu Tama yang kelam. Di sisi lain, Jani sendiri ternyata punya masa lalu yang tidak kalah kelam. Kepura-puraan yang berujung asrama inilah yang menjadi kekuatan dari cerita.
Sisa ceritanya, dibeli sendiri saja ya novelnya. Bagus kok. Beneran. Mau pinjam novelnya dulu juga boleh, asal ingat dikembalikan.
Saya memang sedikit anti dengan novel tema cinta-cintaan seperti ini. Merasa tidak realistis saja dengan dunia nyata. Namun, tidak ada salahnya mulai membuka diri untuk tema cinta. Anggap saja tambahan referensi dalam menulis. Seperti kata-kata bijak, sebelum mulai menulis banyak-banyaklah membaca. Baca apa saja.
.
My Room, 25 Juni 2018.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar