Gunung Batur |
Sudah lama
tidak berpetualang, akhirnya kesempatan itu datang. Gunung Batur, yang berlokasi
di daerah Kintamani, Bangli, pun jadi pilihan. Gunung yang memiliki tinggi 1.717
meter dari permukaan laut ini, bagi saya punya banyak sekali memori. Ini asalah
kali kesekian saya mendaki Gunung Batur. Setiap pendakian selalu punya memorinya
tersendiri. Biasanya kan saya berpetualang sendirian tuh. Kali ini saya bertemu
dengan empat teman, yang punya hobi yang sama. Berpetualang. Maka, berlima kami
ciptakan memori (lain) di ketinggian 1717.
Berawal
dari obrolan ringan di lapangan, Maya
mengajak saya untuk mendaki. Salah satu teman di grup badminton. Ada teman dia, yang berprofesi guide, punya schedule mendaki
bersama bule Jepang. Kebetulan Maya juga mau bayar kaul, akan mendaki kalau proyeknya lancar. Namanya diajakin
berpetualang ke alam, kalau memang punya waktu, nggak mungkin saya tolak. Apalagi dari dulu saya memang ingin mencoba
untuk mendaki lagi. Sekedar menguji kebugaran tubuh. Apakah di umur kepala tiga
ini, saya masih sanggup untuk mencapai puncak. Dan garis dimensi kami bertiga
pun beririsan di Gunung Batur. Ngobrol,
ngobrol, ngobrol, diputuskan lalu tanggal 17 Agustus malam, menjadi hari H
pendakian.
Tanggal
17 Agustus 2018 pun tiba. Celakanya, hari itu sedari pagi mendung tebal
menggelayuti langit Denpasar. Hujan sudah turun sejak dini hari dan tidak terlihat
akan kunjung reda. Tambah celaka lagi, beberapa hari sebelumnya Lombok
diguncang gempa, yang terasa sampai Denpasar. Bisa batal nih rencananya, pikir
saya. Ketika saya hubungi Maya, ternyata peserta pendakian tidak ada yang gentar.
Rencana terus dilanjutkan. Wow, kagum
saya dengan ‘kegilaan’ mereka. Keren nih calon teman-teman baru saya. Biasanya
teman yang lain, kalau sudah gini pasti satu-persatu akan balik kanan, bubar.
Jam 11 malam, di tengah geremis hujan, saya pun berangkat ke titik kumpul.
Di sana
barulah kami bertatap muka. Kami yang semula hanya ngobrol via grup Whatsapp.
Ada Bli Ketut, Pak Gusti, dan Mbo Putu. Tumben nih saya jadi yang paling muda.
Biasanya grup-grup gini pasti ujungnya saya jadi paling tua (ngenes hahaha...). Ditambah sopir, Pak
Wayan, yang nanti hanya mengantar dan tidak ikut mendaki. Sayangnya, grup cewek
bule Jepang gagal ikut karena ada jadwal yang tak bisa ditinggalkan. Padahal kan
pengen kenalan. Rencana praktek konbanwa,
go-kigen desu ka, hai, iie,
ai ahiteru, dll., jadi gagal deh…
Masih di
tengah gerimisnya hujan, kami berenam berangkat dengan dilanda rasa was-was.
Gila sih gila, tapi namanya manusia ada perasaan khawatir pula. Namun, Pak
Wayan yang merupakan warga asli Bangli bilang kalau sudah menghubungi
keluarganya di kampung. Menurut informasi, katanya daerah Kintamani tidak hujan.
Sedikit lega mendengarnya. Dan itu terbukti saat tiba di daerah Panelokan. Aspal
yang kami lewati terlihat kering.
Weker HP berbunyi jam 3 pagi. Kami pun bersiap-siap. Langit pagi itu terlihat
cerah. Bintang-bintang bertebaran dan bersinar dengan terang benerang. Ternyata
tidak hanya kami saja. Kamar-kamar di sebelah semuanya sedang bersiap-siap. Ternyata
semua yang menginap di sana adalah pendaki Batur. Lebih kaget lagi saat kami
tiba di starting point pendakian, di
daerah Pura Bukit Jati. Di sana ramai sekali, dimana kebanyakan mereka adalah grup
turis asing. Luar biasa. Hal ini sungguh di luar perkiraan kami semula.
Selesai membayar biaya tiket sebesar 5.000,- rupiah per orang,
perjalanan kami pun dimulai. Ini adalah kali pertama saya mendaki saat langit
masih gelap. Biasanya saya mendaki saat matahari sudah terbit. Ternyata seru
juga. Hanya kilatan lampu senter dari para pendaki yang menerangi langkah kami.
Gunung Batur |
Sampai beberapa kilometer, Putu mulai menunjukkan tanda kelelahan.
Sangat wajar, mengingat rute perjalanan kami mulai menanjak dan terus menanjak.
Jalan setapak tanah mulai berganti menjadi batu-batu karang terjal. Kami pun
memperlambat langkah, diselingi dengan istirahat minum. Terus berjalan pelan,
tidak terasa dari punggung gunung cahaya kuning mulai nampak. Tanda kalau
sebentar lagi matahari akan terbit. Akhirnya kami putuskan untuk membagi diri
menjadi dua kelompok. Bli Ketut dan Pak Gusti tetap menemani Putu. Sementara
saya dan Maya mempercepat langkah, agar bisa sampai puncak gunung sebelum terang.
Kan yang bayar kaul si Maya. Maka kami
berdua pun berkejar-kejaran dengan matahari.
Sampai juga saya dan Maya di puncak satu. Bertepatan saat matahari hampir
melewati punggung Gunung Abang dan Gunung Agung. Sinar keemasan yang indah berpijar
di kejauhan. Sempat kami ambil beberapa foto keren, sebelum matahari terus meninggi.
Ternyata di puncak satu itu sudah ramai sekali. Malah lebih ramai ketimbang di starting point tadi. Tidak heran karena banyak
pendaki mulai naik lebih pagi dari kami. Di tugu 1717, tempat favorit berfoto
di puncak satu malah lebih ramai lagi.
Sempat kami hubungi teman-teman lain, mencari tahu posisi mereka. Ternyata
mereka masih cukup jauh di belakang, namun masih akan terus lanjut. Paling
tidak mungkin sampai puncak satu saja. Saya dan Maya pun memutuskan untuk
lanjut naik ke puncak dua. Niat kami sedikit terhambat, waktu melihat kerumunan
pendaki yang turun dari puncak dua. Bagi yang pernah mendaki Gunung Batur tentu
tahu kontur jalan menuju puncak dua. Hanya berupa jalan setapak kecil berpasir,
dengan sisi kanan dan kiri miring cukup curam. Jalan setapak ini tak sampai
satu meter lebarnya. Maka kalau berupa kerumunan, tentu akan menyulitkan
gerakan saat berpapasan. Mana kerumunan itu panjang banget lagi.
Gunung Batur |
Sampai semua kerumunan turun, saya dan Maya kembali dilema. Tak ada grup
lain yang terlihat akan naik ke puncak dua. Rombongan yang ada kebanyakan sudah
puas sampai di puncak satu, lalu berlanjut turun. Kalau tetap memaksakan diri,
maka kami berdua akan jadi satu-satunya pendaki yang lanjut naik. Sampai
akhirnya, satu grup bule dari Jerman datang ditemani seorang guide. Terlihat sepertinya mereka akan lanjut
naik. Langung kami samperin dan minta
ijin untuk bergabung. Ternyata mereka sangat ramah. Dengan senang hati kami dipersilakan
bergabung.
Ketika naik, di tengah perjalanan kami disusul oleh Bli Ketut dan Pak
Gusti. Rupanya keduanya begitu sampai, langsung lanjut mendaki puncak dua.
Tidak terlihat Putu ada di antara mereka, yang memilih beristirahat di puncak
satu.
Setelah kurang lebih dua puluh menit berlalu, kami akhirnya tiba di
puncak dua. Senang sekali rasanya. Rasa lelah yang sedari tadi bergelayut, langsung
berganti rasa kagum atas keindahan yang terhampar di depan kami. Tidak heran
kalau Tuhan disebut sebagai ‘Pelukis-Mu Agung’. Kami berempat, bersama dengan
grup bule Jerman, duduk sejenak menikmati karya dari Sang Maestro. Padahal ini
bukan kali pertama bagi saya, tapi setiap kali melihatnya selalu saja mampu bikin
terkagum-kagum. Tidak mampu saya gambarkan dengan kata-kata. Anda harus
melihatnya dengan mata kepala sendiri. Indah sekali. Anda tidak akan menyesal
sama sekali.
Gunung Batur |
Usai bersembahyang di Padmasana, di puncak dua, kami mulai melangkah
turun. Sebelum turun, sekali lagi kami ucapkan rasa syukur kepada Tuhan. Atas
tenaga, kesempatan, dan kelancaran yang diberikan. Kami juga sempat untuk
mengabadikan momen tersebut dalam foto.
Dalam perjalanan turun tidak ada yang terlalu istimewa. Sepi-sepi saja. Mengingat
kami adalah grup terakhir yang turun. Kami berpisah dengan grup bule Jerman,
karena mereka turun lewat rute Toya Bungkah. Sedang kami balik lagi melalui
rute Pura Bukit Jati. Mengingat kaki yang sudah mulai kelelahan, kami melangkah
santai saja, sambil menikmati pemandangan yang ada. Beruntung, sampai di
penginapan kami diijinkan memakai fasilitas kolam air panas. Paling tidak itu
bisa mengurangi rasa letih, sebelum kami kembali ke Denpasar.
Memori (lain) di ketinggian 1717 pun berakhir hari itu. Sebuah memori
indah, bersama sebuah grup yang penuh kekeluargaan. Terima kasih Maya, Mbo Putu,
Bli Ketut, dan Pak Gusti.
Batur, 18 Agustus
2018
Sehari setelah
peringatan Proklamasi Indonesia
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar