Sabtu, 17 November 2018

Tengkorak: Arah Baru Perfilman Indonesia


Tengkorak
Seperti biasa, nonton filmnya kapan, eh nulis review-nya kapan. Harap dimaklumi saja, namanya juga penulis suka-suka hehehe...
Film Indonesia terakhir yang saya tonton ini, berjudul ‘Tengkorak’. Pertanyaan ketika menonton sebuah film, kenapa film ini musti saya tonton? Tengkorak berbeda dengan film-film Indonesia lainnya. Pertama, film ini bukanlah karya sutradara kenamaan. Film ini hanya hasil sebuah kerja sama antara dosen dan mahasiswa Sekolah Vokasi Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Kedua, film ini mengambil gendre yang anti-mainstream. Di tengah gandrungnya gendre horor atau percintaan, film Tengkorak mengangkat gendre science fiction. Sebuah gendre yang sangat jarang terjamah film-film Indonesia.
Sebelum menonton, sempat saya googling sedikit tentang film ini. Sebuah kewajiban, sebelum saya datang ke bioskop. Ada hal-hal menarik tentang film Tengkorak, yang saya dapat dari hasil pencarian informasi. Film Tengkorak ini ternyata selama proses pembuatan didukung oleh pihak-pihak yang tidak punya latar belakang perfilman, meski di beberapa scene memakai efek visual 3D ataupun blue screen. Sang Sutradara, Yusron Fuadi, profesinya adalah sebagai dosen. Di film ini selain jadi Sutradara, Yusron juga sekaligus sebagai Editor, Co Produser, juga Aktor (paket lengkap dah pokoknya hehehe..). Biaya produksinya sangat minim untuk kategori film bergendre fiksi ilmiah, yang hanya sekitaran 400-500 juta saja. Proses produksi sebenarnya sudah dimulai tahun 2014, namun baru bisa selesai November 2017.
Dengan segala ‘kekurangan’ tersebut, film ini ternyata mampu berkiprah di dunia internasional. Film Tengkorak meraih nominasi film sains terbaik kategori fantasi fiksi dan thriller dalam festival film Cinequest di Sanjose, California. Sangat membanggakan pastinya.
Dengan segala ‘keunikan’ di atas, menarik rasa penasaran saya untuk menonton film ini. Meski dalam hati tidak punya ekspektasi apa-apa. Mengingat film ini adalah sebuah film festival. Pasti punya alur yang rada ‘tak biasa’. Terbukti ketika saya memesan tiket, dimana kursi merah hanya ada enam buah. Iya, cuma ada enam penonton di waktu tersebut. Dan mengejutkannya lagi, saat masuk ke dalam teater hanya ada dua orang di dalam. Saya di lajur kanan dan satu orang lagi di lajur kiri. Jumlah ini bertahan, sampai film mulai diputar. Tumben-tumben nih saya nonton film dalam nuansa se-privat itu.
Seharusnya, film-film seperti inilah yang musti kita dukung. Film yang benar-benar sebuah karya anak bangsa, tanpa modal besar. Hanya berbekal tekad dan kemauan, dan sedikit kenekatan.
Oke, film pun diputar. Diawali dengan sebuah momen dimana terjadi gempa dahsyat di daerah Yogyakarta, tahun 2006. Akibat gempa ini muncul sebuah fenomena menggemparkan, yaitu fosil tengkorak yang diduga berusia hampir ribuan tahun. Menjadi fenomena, karena fosil manusia purba biasa umumnya hanya berukuran dua meter, nah fosil yang satu ukurannya 1,8 kilometer. Bukit dimana fosil ini ditemukan kemudian disebut dengan Bukit Tengkorak. Guna menyelidiki lebih lanjut dari fenomena ini, Pemerintah Indonesia membentuk pusat penelitian, yang diberi nama Balai Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT). Banyak tenaga direkrut untuk bekerja di pusat penelitian ini. Salah satunya adalah Ani (Eka Nusa Pertiwi).
Terus terang, saya kesemsem sama kecantikan nan sederhana dari tokoh Ani ini. Sepanjang film, dia ini nggak pakai make-up berlebih, tapi tetep cantik. Apalagi matanya itu loh, ber-aura banget. Oke, oke, skip. Fokus ke alur cerita...
Munculnya fosil tengkorak ini memunculkan banyak komentar. Dari akademisi, para ahli, ulama, militer, sampai orang awam. Dari yang sifatnya ilmiah sampai non ilmiah, guna mendebatkan eksistensi kita sebagai manusia di alam semesta ini. Tidak hanya pihak di dalam negeri, kalangan luar negeri pun ikut tertarik meneliti fenomena ‘aneh’ ini. Berbagai kepentingan kemudian saling bergesekan, menimbulkan friksi-friksi yang berkembang menjadi inti cerita film Tengkorak.
Konflik dimulai dari bocornya sebuah ‘informasi’ rahasia, yang diduga dilakukan oleh orang dalam BPBT. Terduga tersebut ternyata salah satunya adalah Ani, padahal dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Guna mengamankan informasi tersebut, bergerak beberapa pembunuh bayaran yang tergabung ke dalam tim Kamboja. Ketika salah satu anggota tim ingin ‘mengamankan’ Ani, muncul sosok Yos (Yusron Fuadi). Ani pun berhasil diselamatkan. Hal ini membuat Ani dan Yos menjadi buronan Pemerintah, sekaligus Tim Kamboja. Dikarenakan usut punya usut, rupanya Yos adalah satu dari anggota tim pembunuh tersebut. Rasa ketertarikan dia pada Ani, membuat dirinya memilih membelot dari tim.
Selama dalam pelarian, Yos mengajak Ani untuk tinggal di rumah Letnan Jaka (Guh S. Mana). Sementara itu, di BPBT terjadi chaos akibat terjadinya kebocoran ‘informasi’ rahasia. BPBT pun secara resmi dibekukan. Bersamaan dengan munculnya gerakan militer rahasia yang menangkap dan membunuh para petinggi BPBT. Semata agar ‘informasi’ ini tidak tersebar semakin luas.
Selepas adegan inilah, saya merasa film ini seperti kehilangan arah. Sedikit disayangkan, karena di awal alur cerita sudah terbangun dengan sangat baik. Cukup memunculkan rasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ibarat ada ‘ruang hampa udara’ di tengah cerita, yang bikin alur cerita jadi sedikit lepas kendali. Silahkan saja didebat opini ini, karena itulah yang jujur saya rasakan sebagai seorang penonton awam.
Alur cerita baru kembali ke benang merahnya, saat Ani dan Letnan Jaka menemukan bagaimana cara ‘informasi’ rahasia itu diselundupkan keluar dari BPBT. Saya juga tidak mengerti, tiba-tiba Letnan Jaka menyeletuk soal ini. Mungkin dia menerima pewisik gaib, atau apalah itu namanya hehehe... Ternyata, rahasia tersebut sudah ada di tangan Ani selama ini.
Berpaculah Ani dengan waktu untuk mencari tahu lebih detail, soal ‘informasi’ rahasia tersebut. Dikarenakan, di tempat lain sedang dilakukan sebuah jajak pendapat, meminta pendapat apakah fosil tengkorak akan dibiarkan atau dihancurkan. Jajak pendapat ini dilaksanakan atas desakan dari dunia internasional, kepada Pemerintah Indonesia. Ani sendiri merasa kalau ada sesuatu di dalam fosil tengkorak yang harus dilindungi keberadaannya. Hasil poling ternyata memenangkan pihak yang mendukung penghancuran fosil tengkorak.
Dalam penutup film, ‘sesuatu’ yang amat sangat mengejutkan muncul, ketika fosil tengkorak itu diledakkan. ‘Sesuatu’ yang sama sekali tak terduga-duga. ‘Sesuatu’ yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, dalam 1 jam 56 menit penayangan.
Apapun tanggapan dari penontonnya, film Tengkorak telah muncul sebagai pendobrak. Dengan berani menapak di jalur, yang jarang mendapat sorotan dunia perfilman Indonesia. Semoga saja akan muncul film-film sejenis lainnya, sehingga dapat memberi warna baru dan opsi lain bagi penikmat karya sineas dalam negeri.

Kuta, 24 Oktober 2018
(Yang baru selesai ditulis 16 November)
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar