Tengkorak |
Seperti
biasa, nonton filmnya kapan, eh nulis
review-nya kapan. Harap dimaklumi
saja, namanya juga penulis suka-suka hehehe...
Film
Indonesia terakhir yang saya tonton ini, berjudul ‘Tengkorak’. Pertanyaan
ketika menonton sebuah film, kenapa film ini musti saya tonton? Tengkorak
berbeda dengan film-film Indonesia lainnya. Pertama, film ini bukanlah karya
sutradara kenamaan. Film ini hanya hasil sebuah kerja sama antara dosen dan
mahasiswa Sekolah Vokasi Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Kedua, film
ini mengambil gendre yang anti-mainstream.
Di tengah gandrungnya gendre horor atau percintaan, film Tengkorak mengangkat
gendre science fiction. Sebuah gendre
yang sangat jarang terjamah film-film Indonesia.
Sebelum
menonton, sempat saya googling sedikit
tentang film ini. Sebuah kewajiban, sebelum saya datang ke bioskop. Ada hal-hal
menarik tentang film Tengkorak, yang saya dapat dari hasil pencarian informasi.
Film Tengkorak ini ternyata selama proses pembuatan didukung oleh pihak-pihak
yang tidak punya latar belakang perfilman, meski di beberapa scene memakai efek visual 3D ataupun blue screen. Sang Sutradara, Yusron
Fuadi, profesinya adalah sebagai dosen. Di film ini selain jadi Sutradara,
Yusron juga sekaligus sebagai Editor, Co Produser, juga Aktor (paket lengkap
dah pokoknya hehehe..). Biaya produksinya sangat minim untuk kategori film
bergendre fiksi ilmiah, yang hanya sekitaran 400-500 juta saja. Proses produksi
sebenarnya sudah dimulai tahun 2014, namun baru bisa selesai November 2017.
Dengan
segala ‘kekurangan’ tersebut, film ini ternyata mampu berkiprah di dunia
internasional. Film Tengkorak meraih nominasi film sains terbaik kategori
fantasi fiksi dan thriller dalam festival
film Cinequest di Sanjose, California. Sangat membanggakan pastinya.
Dengan
segala ‘keunikan’ di atas, menarik rasa penasaran saya untuk menonton film ini.
Meski dalam hati tidak punya ekspektasi apa-apa. Mengingat film ini adalah
sebuah film festival. Pasti punya alur yang rada ‘tak biasa’. Terbukti ketika
saya memesan tiket, dimana kursi merah hanya ada enam buah. Iya, cuma ada enam
penonton di waktu tersebut. Dan mengejutkannya lagi, saat masuk ke dalam teater
hanya ada dua orang di dalam. Saya di lajur kanan dan satu orang lagi di lajur
kiri. Jumlah ini bertahan, sampai film mulai diputar. Tumben-tumben nih saya nonton film dalam nuansa se-privat itu.
Seharusnya,
film-film seperti inilah yang musti kita dukung. Film yang benar-benar sebuah
karya anak bangsa, tanpa modal besar. Hanya berbekal tekad dan kemauan, dan
sedikit kenekatan.
Oke, film pun
diputar. Diawali dengan sebuah momen dimana terjadi gempa dahsyat di daerah Yogyakarta,
tahun 2006. Akibat gempa ini muncul sebuah fenomena menggemparkan, yaitu fosil tengkorak
yang diduga berusia hampir ribuan tahun. Menjadi fenomena, karena fosil manusia
purba biasa umumnya hanya berukuran dua meter, nah fosil yang satu ukurannya 1,8 kilometer. Bukit dimana fosil ini
ditemukan kemudian disebut dengan Bukit Tengkorak. Guna menyelidiki lebih lanjut
dari fenomena ini, Pemerintah Indonesia membentuk pusat penelitian, yang diberi
nama Balai Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT). Banyak tenaga direkrut untuk
bekerja di pusat penelitian ini. Salah satunya adalah Ani (Eka Nusa Pertiwi).
Terus
terang, saya kesemsem sama kecantikan
nan sederhana dari tokoh Ani ini. Sepanjang film, dia ini nggak pakai make-up
berlebih, tapi tetep cantik. Apalagi matanya itu loh, ber-aura banget. Oke,
oke, skip. Fokus ke alur cerita...
Munculnya
fosil tengkorak ini memunculkan banyak komentar. Dari akademisi, para ahli,
ulama, militer, sampai orang awam. Dari yang sifatnya ilmiah sampai non ilmiah,
guna mendebatkan eksistensi kita sebagai manusia di alam semesta ini. Tidak
hanya pihak di dalam negeri, kalangan luar negeri pun ikut tertarik meneliti
fenomena ‘aneh’ ini. Berbagai kepentingan kemudian saling bergesekan,
menimbulkan friksi-friksi yang berkembang
menjadi inti cerita film Tengkorak.
Konflik
dimulai dari bocornya sebuah ‘informasi’ rahasia, yang diduga dilakukan oleh
orang dalam BPBT. Terduga tersebut ternyata salah satunya adalah Ani, padahal
dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Guna mengamankan informasi tersebut, bergerak
beberapa pembunuh bayaran yang tergabung ke dalam tim Kamboja. Ketika salah
satu anggota tim ingin ‘mengamankan’ Ani, muncul sosok Yos (Yusron Fuadi). Ani
pun berhasil diselamatkan. Hal ini membuat Ani dan Yos menjadi buronan
Pemerintah, sekaligus Tim Kamboja. Dikarenakan usut punya usut, rupanya Yos
adalah satu dari anggota tim pembunuh tersebut. Rasa ketertarikan dia pada Ani,
membuat dirinya memilih membelot dari tim.
Selama dalam
pelarian, Yos mengajak Ani untuk tinggal di rumah Letnan Jaka (Guh S. Mana). Sementara
itu, di BPBT terjadi chaos akibat
terjadinya kebocoran ‘informasi’ rahasia. BPBT pun secara resmi dibekukan.
Bersamaan dengan munculnya gerakan militer rahasia yang menangkap dan membunuh
para petinggi BPBT. Semata agar ‘informasi’ ini tidak tersebar semakin luas.
Selepas
adegan inilah, saya merasa film ini seperti kehilangan arah. Sedikit
disayangkan, karena di awal alur cerita sudah terbangun dengan sangat baik.
Cukup memunculkan rasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ibarat
ada ‘ruang hampa udara’ di tengah
cerita, yang bikin alur cerita jadi sedikit lepas kendali. Silahkan saja
didebat opini ini, karena itulah yang jujur saya rasakan sebagai seorang
penonton awam.
Alur
cerita baru kembali ke benang merahnya, saat Ani dan Letnan Jaka menemukan
bagaimana cara ‘informasi’ rahasia itu diselundupkan keluar dari BPBT. Saya
juga tidak mengerti, tiba-tiba Letnan Jaka menyeletuk soal ini. Mungkin dia
menerima pewisik gaib, atau apalah
itu namanya hehehe... Ternyata, rahasia tersebut sudah ada di tangan Ani selama
ini.
Berpaculah
Ani dengan waktu untuk mencari tahu lebih detail, soal ‘informasi’ rahasia
tersebut. Dikarenakan, di tempat lain sedang dilakukan sebuah jajak pendapat, meminta
pendapat apakah fosil tengkorak akan dibiarkan atau dihancurkan. Jajak pendapat
ini dilaksanakan atas desakan dari dunia internasional, kepada Pemerintah
Indonesia. Ani sendiri merasa kalau ada sesuatu di dalam fosil tengkorak yang
harus dilindungi keberadaannya. Hasil poling ternyata memenangkan pihak yang
mendukung penghancuran fosil tengkorak.
Dalam
penutup film, ‘sesuatu’ yang amat sangat mengejutkan muncul, ketika fosil
tengkorak itu diledakkan. ‘Sesuatu’ yang sama sekali tak terduga-duga.
‘Sesuatu’ yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, dalam 1 jam 56 menit
penayangan.
Apapun
tanggapan dari penontonnya, film Tengkorak telah muncul sebagai pendobrak.
Dengan berani menapak di jalur, yang jarang mendapat sorotan dunia perfilman
Indonesia. Semoga saja akan muncul film-film sejenis lainnya, sehingga dapat memberi
warna baru dan opsi lain bagi penikmat karya sineas dalam negeri.
Kuta, 24 Oktober 2018
(Yang baru selesai ditulis
16 November)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar