Apa yang harus
aku berikan untuk Ibu di Hari Ibu, tahun ini?
Membelikan
bunga, kue, atau hadiah lainnya sudah sangat mainstream, dan sifatnya serimonial
belaka. Upload foto bersama Ibu
di media sosial, dengan caption
puitis, nah itu apa lagi... sudah terlalu umum. Butuh sesuatu yang baru tahun
ini.
Terpikirlah
ide untuk menulis surat untuk ibu. Sebuah ide, yang muncul dari sebuah linimasa.
Ide ini
memunculkan permasalahan lain. Aku tidak pernah lagi menulis surat. Surat
terakhir yang aku tulis adalah surat lamaran pekerjaan. Dan itupun sudah lama
sekali. Setelah itu, tak ada lagi satu lembar surat pun yang pernah aku tulis.
Sungguh kemajuan teknologi telah merusak budaya surat-menyurat.
Maafkan
wahai ibu/bapak guru bahasa Indonesia. Seandainya surat ini nanti tidak sesuai
dengan kaidah yang pernah kalian ajarkan kepadaku dulu, di bangku sekolah.
IBU,
Mengawali
surat ini, aku ingin mengucapkan permohonan maaf.
Maaf,
karena belum bisa mempunyai karier yang bagus.
Maaf,
karena belum bisa membelikan rumah yang ada kolam renangnya.
Maaf, karena
belum juga bisa memberimu menantu.
Dan maaf,
atas semua perbuatanku yang lain, yang mungkin menjadi penyebab dirimu kecewa...
Berikutnya,
aku ingin mengucapkan terima kasih.
Terima
kasih, karena memaklumi anakmu yang doyan pindah-pindah kerja.
Terima
kasih, karena tidak menuntut dibelikan rumah berkolam renang.
Terima kasih,
karena tidak lagi memaksa anakmu ini mencari istri.
Dan terima
kasih, atas semua permakluman tiap kali diriku melakukan perbuatan yang membuat
dirimu kecewa...
Sungguh,
aku pun ingin menjadi seperti anak-anak lain di luar sana.
Anak yang
bisa dibanggakan orang tuanya, setiap kali mereka menerima kenaikan pangkat.
Anak yang
bisa dibanggakan, karena punya rumah besar, mobil mewah, dan istri yang cantik.
Anak yang
bisa dibanggakan, karena bisa mengajak liburan ke tempat-tempat mahal.
Dan,
kebanggaan-kebanggan lainnya, sebagaimana yang orang tua lain mungkin sudah rasakan...
Mungkin,
dalam hati bisa saja engkau kecewa memiliki anak seperti anakmu ini, Ibu...
Dan
sungguh aku pun tidak akan menyalahkanmu, andai kekecewaan itu pernah engkau rasakan.
Sungguh
ibu, sungguh...
Sejujurnya,
aku pun kecewa dengan diriku sendiri.
Kecewa, kenapa
aku tak bisa memiliki hidup seperti anak-anak lain di luar sana. Hidup yang
bisa dibangga-banggakan oleh orang tua mereka. Yang bisa dibicarakan ke
orang-orang.
Tetapi, setiap
kali rasa kecewa itu muncul, engkau selalu berkata. “Nggak apa-apa, setiap
orang punya jalan hidupnya masing-masing. Tuhan tidak akan memberikan jalan hidup
ini, seandainya Beliau tidak yakin kalau dirimu cukup kuat untuk menjalaninya.”
Sungguh,
perkataanmu itu membuat aku tenang. Paling tidak, aku merasa memiliki pendukung
hidup di dunia ini. Dunia dimana manusia bisa begitu “kejam” terhadap manusia
lainnya. Dunia dimana manusia (kadang) tidak lagi melihat manusia sebagai
manusia.
Kalau kamu
bukan pegawai kantoran, kamu bukan manusia.
Kalau kamu
tidak aktif di media sosial, kamu bukan manusia.
Kalau kamu
tidak pakai pakaian ber-merk, kamu
bukan manusia.
Kalau kamu
tidak nongkrong di cafe mahal, kamu bukan manusia.
Kalau kamu
tidak punya bodi seperti artis Korea, kamu bukan manusia.
Kalau kamu
tidak bawa smartphone jutaan rupiah, kamu
bukan manusia.
Kalau kamu
tidak punya banyak rekening, kamu bukan manusia.
Kalau kamu
tidak bisa membeli mobil, kamu bukan manusia.
Kalau kamu
belum menikah sampai “batas” umur, kamu bukan manusia.
Iya Ibu,
kadang dunia saat ini memang bisa “sekejam” itu.
Sayangnya,
anakmu ini masuk ke semua golongan manusia “hina” tersebut di atas.
Tapi,
apakah engkau pernah berhenti menyayangi anakmu ini?
Jawabannya,
TIDAK.
Dan untuk
itu, aku sangat berterima kasih.
Aku akan
mencoba untuk meniru kasih sayangmu itu, dan memberikan kasih sayang yang sama andai
Tuhan memberiku tanggung jawab untuk menjadi orang tua kelak.
Aku tidak
akan pernah berhenti menyayangi anakku nanti, meski mungkin saja dia akan berkali-kali
mengecewakan, sama seperti yang anakmu lakukan hari ini.
Terima
kasih, karena selalu percaya pada anakmu ini.
Engkaulah
satu-satu manusia, yang masih percaya, kalau anakmu ini tidaklah sekedar
dilahirkan oleh Tuhan. Percaya kalau Beliau punya “rencana besar”, yang sekarang
masih menjadi rahasia langit. Rahasia yang hanya Sang Waktu punya kunci
jawabannya.
Pernah
engkau berkata, bisa saja kan aku dilahirkan untuk jadi Gubernur Bali. Untuk
membawa nama Bali, lebih besar dari namanya saat ini.
Pernah
juga engkau berkata, bisa saja suatu hari nanti aku jadi orang Bali pertama
yang menjabat Menteri Dalam Negeri, atau bahkan Presiden sekalipun.
Tertawa
aku mendengar itu.
Mungkin
bakat “menghayalku” dalam menulis, aku peroleh dari dirimu.
Sebegitu
percayanya engkau pada anakmu ini. Dimana di saat yang sama, tidak ada satu
manusia lain yang menaruh kepercayaan sebesar itu pada anakmu ini.
Kalau pun
semua “khayalan besarmu” itu bisa menjadi kenyataan, engkau menjadi orang yang pertama
akan aku peluk. Engkau yang selalu percaya, kalau anakmu ini punya kemampuan
untuk “menaklukkan” dunia.
Semoga
nanti Tuhan akan memberiku pendamping seperti dirimu. Pendamping yang tidak
akan pernah berhenti percaya, kalau diriku bisa.
Mungkin segitu
dulu suratku kali ini, Ibu. Sekali lagi, terima kasih karena tidak pernah
menyerah menjadi ibuku di kehidupan ini. Terima kasih untuk semua permakluman
dan kepercayaan yang engkau berikan selama ini.
Terima kasih
Ibu, terima kasih.
Dari anakmu,
yang tidak pernah berhenti membuatmu kecewa.
Denpasar, 16 Desember 2018.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar