Sabtu, 22 Desember 2018

Suratku Untukmu, Ibu


Apa yang harus aku berikan untuk Ibu di Hari Ibu, tahun ini?

Membelikan bunga, kue, atau hadiah lainnya sudah sangat mainstream, dan sifatnya serimonial belaka. Upload foto bersama Ibu di media sosial, dengan caption puitis, nah itu apa lagi... sudah terlalu umum. Butuh sesuatu yang baru tahun ini.
Terpikirlah ide untuk menulis surat untuk ibu. Sebuah ide, yang muncul dari sebuah linimasa.
Ide ini memunculkan permasalahan lain. Aku tidak pernah lagi menulis surat. Surat terakhir yang aku tulis adalah surat lamaran pekerjaan. Dan itupun sudah lama sekali. Setelah itu, tak ada lagi satu lembar surat pun yang pernah aku tulis. Sungguh kemajuan teknologi telah merusak budaya surat-menyurat.
Maafkan wahai ibu/bapak guru bahasa Indonesia. Seandainya surat ini nanti tidak sesuai dengan kaidah yang pernah kalian ajarkan kepadaku dulu, di bangku sekolah.

IBU,
Mengawali surat ini, aku ingin mengucapkan permohonan maaf.
Maaf, karena belum bisa mempunyai karier yang bagus.
Maaf, karena belum bisa membelikan rumah yang ada kolam renangnya.
Maaf, karena belum juga bisa memberimu menantu.
Dan maaf, atas semua perbuatanku yang lain, yang mungkin menjadi penyebab dirimu kecewa...

Berikutnya, aku ingin mengucapkan terima kasih.
Terima kasih, karena memaklumi anakmu yang doyan pindah-pindah kerja.
Terima kasih, karena tidak menuntut dibelikan rumah berkolam renang.
Terima kasih, karena tidak lagi memaksa anakmu ini mencari istri.
Dan terima kasih, atas semua permakluman tiap kali diriku melakukan perbuatan yang membuat dirimu kecewa...

Sungguh, aku pun ingin menjadi seperti anak-anak lain di luar sana.
Anak yang bisa dibanggakan orang tuanya, setiap kali mereka menerima kenaikan pangkat.
Anak yang bisa dibanggakan, karena punya rumah besar, mobil mewah, dan istri yang cantik.
Anak yang bisa dibanggakan, karena bisa mengajak liburan ke tempat-tempat mahal.
Dan, kebanggaan-kebanggan lainnya, sebagaimana yang orang tua lain mungkin sudah rasakan...

Mungkin, dalam hati bisa saja engkau kecewa memiliki anak seperti anakmu ini, Ibu...
Dan sungguh aku pun tidak akan menyalahkanmu, andai kekecewaan itu pernah engkau rasakan.
Sungguh ibu, sungguh...
Sejujurnya, aku pun kecewa dengan diriku sendiri.
Kecewa, kenapa aku tak bisa memiliki hidup seperti anak-anak lain di luar sana. Hidup yang bisa dibangga-banggakan oleh orang tua mereka. Yang bisa dibicarakan ke orang-orang.
Tetapi, setiap kali rasa kecewa itu muncul, engkau selalu berkata. “Nggak apa-apa, setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Tuhan tidak akan memberikan jalan hidup ini, seandainya Beliau tidak yakin kalau dirimu cukup kuat untuk menjalaninya.”
Sungguh, perkataanmu itu membuat aku tenang. Paling tidak, aku merasa memiliki pendukung hidup di dunia ini. Dunia dimana manusia bisa begitu “kejam” terhadap manusia lainnya. Dunia dimana manusia (kadang) tidak lagi melihat manusia sebagai manusia.

Kalau kamu bukan pegawai kantoran, kamu bukan manusia.
Kalau kamu tidak aktif di media sosial, kamu bukan manusia.
Kalau kamu tidak pakai pakaian ber-merk, kamu bukan manusia.
Kalau kamu tidak nongkrong di cafe mahal, kamu bukan manusia.
Kalau kamu tidak punya bodi seperti artis Korea, kamu bukan manusia.
Kalau kamu tidak bawa smartphone jutaan rupiah, kamu bukan manusia.
Kalau kamu tidak punya banyak rekening, kamu bukan manusia.
Kalau kamu tidak bisa membeli mobil, kamu bukan manusia.
Kalau kamu belum menikah sampai “batas” umur, kamu bukan manusia.

Iya Ibu, kadang dunia saat ini memang bisa “sekejam” itu.
Sayangnya, anakmu ini masuk ke semua golongan manusia “hina” tersebut di atas.
Tapi, apakah engkau pernah berhenti menyayangi anakmu ini?
Jawabannya, TIDAK.
Dan untuk itu, aku sangat berterima kasih.
Aku akan mencoba untuk meniru kasih sayangmu itu, dan memberikan kasih sayang yang sama andai Tuhan memberiku tanggung jawab untuk menjadi orang tua kelak.
Aku tidak akan pernah berhenti menyayangi anakku nanti, meski mungkin saja dia akan berkali-kali mengecewakan, sama seperti yang anakmu lakukan hari ini.

Terima kasih, karena selalu percaya pada anakmu ini.
Engkaulah satu-satu manusia, yang masih percaya, kalau anakmu ini tidaklah sekedar dilahirkan oleh Tuhan. Percaya kalau Beliau punya “rencana besar”, yang sekarang masih menjadi rahasia langit. Rahasia yang hanya Sang Waktu punya kunci jawabannya.
Pernah engkau berkata, bisa saja kan aku dilahirkan untuk jadi Gubernur Bali. Untuk membawa nama Bali, lebih besar dari namanya saat ini.
Pernah juga engkau berkata, bisa saja suatu hari nanti aku jadi orang Bali pertama yang menjabat Menteri Dalam Negeri, atau bahkan Presiden sekalipun.
Tertawa aku mendengar itu.
Mungkin bakat “menghayalku” dalam menulis, aku peroleh dari dirimu.
Sebegitu percayanya engkau pada anakmu ini. Dimana di saat yang sama, tidak ada satu manusia lain yang menaruh kepercayaan sebesar itu pada anakmu ini.
Kalau pun semua “khayalan besarmu” itu bisa menjadi kenyataan, engkau menjadi orang yang pertama akan aku peluk. Engkau yang selalu percaya, kalau anakmu ini punya kemampuan untuk “menaklukkan” dunia.
Semoga nanti Tuhan akan memberiku pendamping seperti dirimu. Pendamping yang tidak akan pernah berhenti percaya, kalau diriku bisa.

Mungkin segitu dulu suratku kali ini, Ibu. Sekali lagi, terima kasih karena tidak pernah menyerah menjadi ibuku di kehidupan ini. Terima kasih untuk semua permakluman dan kepercayaan yang engkau berikan selama ini.
Terima kasih Ibu, terima kasih.



Dari anakmu,
yang tidak pernah berhenti membuatmu kecewa.
Denpasar, 16 Desember 2018.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar