Korupsi. Bagi rakyat Indonesia, kata itu bukanlah sesuatu yang asing.
Malah mungkin sudah didengar terlalu sering. Pejabat negara, penegak hukum,
politisi, masuk bui jadi pemandangan biasa di televisi. Sebagian besar dari mereka
ada dibalik jeruji, karena terjerat kata korupsi ini. Lalu apakah sebenarnya makna
dari korupsi?
Secara yuridis, makna korupsi dalam dilihat di undang-undang. Di Indonesia
korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, pada Bab II
Pasal 2. Makna korupsi menurut pasal ini adalah: “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Jadi menurut undang-undang ini, korupsi terdiri dari tiga unsur. Pertama,
perbuatan itu melawan hukum. Kedua, perbuatan itu memperkaya diri sendiri,
orang lain atau korporasi. Ketiga, perbuatan itu merugikan keuangan atau
perekonomian negara.
Itu secara yuridis, lalu bagaimana makna korupsi secara gramatikal. Korupsi
atau rasuah berasal dari bahasa latin, Corruptio.
Kata Corruptio sendiri berasal dari
kata kerja Corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutar-balik, menyogok. Maka tidaklah heran, kalau
sogok-menyogok sangat identik dengan kata korupsi ini.
Bagaimana makna korupsi menurut saya sebagai penulis. Makna yang dipandang
dari kaca mata orang awam. Menurut saya, korupsi itu tidak lebih dari sebuah
transaksi. Korupsi dapat dipandang sebagai proses jual beli. Dalam jual beli,
ada dua hal yang berperan yaitu: Penyedia (suplay)
dan Perminta (demand). Demikian pun
korupsi, menurut saya. Korupsi terjadi karena adanya dua pihak yang bertemu,
dimana pihak-pihak tersebut memiliki kepentingan yang sama. Satu pihak sebagai
peminta, dan pihak lain sebagai penyedia. Terlepas nantinya ada pihak ketiga
sebagai perantara, itu sih lain persoalan. Dua pihak ini akan bertemu dan ber-‘transaksi’.
Apabila ‘transaksi’ ini disepakati dan tereksekusi, maka korupsi terjadi. Dan
apabila tidak, maka ada yang namanya korupsi.
Ambillah sebuah contoh sederhana. Pegawai A ‘meminta’ bantuan kepada Pegawai
B. Kebetulan Pegawai B bertugas dibagian absensi. Bantuan yang dimaksud adalah
hendak pulang lebih awal, karena keperluan pribadi. Dalam konteks ini otomatis
Pegawai B berstatus sebagai ‘penyedia’. Terjadilah ‘transaksi’ antara keduanya,
hingga terjadi kesepakatan. Pegawai A cukup tanda tangan daftar absen manual,
dan bisa pulang tanpa ketahuan. Terjadilah korupsi jam kerja disana. ‘Transaksi’
sederhana, tapi mengganggu kinerja. Seandainya pada kasus ini, kita taruh
teknologi diantara keduanya tentu ‘transaksi’ seperti ini bisa dicegah.
Teknologi yang dimaksud bisa berupa absen sidik jari, atau teknologi absensi
model lainnya.
Contoh lainnya, seorang calon pegawai mengikuti tes. Datanglah dia kepada
seorang oknum pejabat, yang dapat menjanjikan kelulusan. Maka dalam hal ini si calon
pegawai sebagai pihak ‘peminta’, dan si oknum pejabat sebagai ‘penyedia’. ‘Transaksi’
pun terjadi, beserta ‘upeti’ yang harus diserahkan. ‘Transaksi’ ini pun
memenuhi unsur-unsur korupsi. Sebagaimana
kasus sebelumnya, bagaimana jika diantara keduanya ditaruh teknologi. Semacam
tes dengan sistem online, misalnya. “Transaksi’ keduanya tentu akan bisa
dicegah. Hasil tes akan dapat langsung diketahui, sehingga tidak sempat terjadi
praktek kong-kali-kong.
Dari kedua contoh sederhana diatas, bisa dilihat peran teknologi cukup
signifikan mencegah terjadinya korupsi. Tidak hanya untuk dua kasus tadi,
teknologi pun dapat diterapkan kedalam bentuk ‘transaksi-transaksi’ terindikasi
korupsi lainnya. Misalnya saja, sistem perijinan satu atap terintegrasi online.
Semua permohonan ijin-ijin dikelola oleh satu instansi, baik dipusat maupun didaerah.
Data-data permohonan dan kelengkapannya wajib
diajukan secara online, sehingga tercatat dalam server. Dengan demikian
pertemuan antara orang dengan orang dapat diminimalisir. ‘Transaksi-transaksi’
diluar sistem pun dapat dicegah. Demikian pula sistem pembayarannya. Pembayaran
dilakukan melalui online perbankan. Langsung ditransfer, sehingga tidak
dilakukan secara tunai. Keuangan yang masuk pun dapat dikontrol dengan baik,
karena tercatat secara digital.
Keberadaan teknologi, meminimalisir pertemuan orang dengan orang. Sebagaimana
disebutkan diatas, korupsi itu seperti jual beli. Orang dengan orang akan
bertemu untuk ber-‘transaksi’. Apabila pertemuan orang dengan orang ini dapat
diminimalisir, maka ‘transaksi-transaksi’ terindikasi korupsi pun bisa dicegah.
Hanya saja, agar sistem ini dapat bekerja dengan baik, dibutuhkan teknologi
yang benar-benar steril dari campur tangan manusia. Atau paling tidak,
teknologi yang seminim mungkin dikelola oleh manusia. Sistem ini haruslah dapat
berdiri sendiri, dan keamanan data-datanya harus benar-benar terjaga. Pertanyaannya
kini, apakah Indonesia sudah menguasai teknologi semacam ini? Disinilah
kelemahan dari sistem ini. Diakui ataupun tidak, penguasaan Indonesia terhadap teknologi
masih sangat lemah. Kelemahan ini justru terasa di sentra-sentra pemerintahan,
yang menjadi pusat pelayanan masyarakat. Ditempat-tempat inilah justru ‘transaksi-transaksi’
terindikasi korupsi kerap terjadi. Administrasi yang masih bersifat ‘tradisional’-lah
yang jadi penyebabnya. Yang dimaksud dengan administasi tradisional, adalah masih
bertumpu pada pertemuan orang dengan orang.
Pada Pemilu 2014, Presiden Jokowi dalam kampanye-nya pernah berjanji.
Perbaikan sistem birokrasi menyeluruh akan menjadi prioritas. Birokrasi akan
disinergikan dengan informasi teknologi. Hanya saja, memang perbaikan birokrasi
secara menyeluruh memerlukan waktu yang tidak sebentar. Jangankan memiliki satu
jaringan online nusantara, sampai kini Indonesia bahkan belum memiliki data
kependudukan tunggal. Program e-KTP katanya akan menuju kearah sana, namun
perkembangannya terlihat tidak cukup signifikan. Belum lagi sistem yang
terintegrasi online, pasti membutuhkan jaringan internet yang merata. Harus
diakui pula bahwa Indonesia belum memiliki jaringan internet yang merata di seluruh
nusantara. Sebuah tugas berat Departemen Komunikasi dan Informasi, tentunya.
Semoga beberapa tahun kedepan, Indonesia akan siap memasuki dunia digital.
Dengan demikian, komputerisasi dan teknologi akan menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat Indonesia. Digitalisasi akan menjadi budaya baru masyarakat Indonesia,
sehingga data setiap individu akan mudah terlacak. Segala transaksi wajib dilakukan
secara online, dalam satu server. Tidak ada lagi sistem birokrasi tradisional,
dimana terjadi pertemuan antara orang dengan orang. Dengan demikian pencegahan
terhadap korupsi akan lebih mudah dilakukan. Semua akan berjalan dalam sebuah
sistem yang rapi, dan terintegrasi. Tidak akan ada lagi tumpang tindih
birokrasi sektoral. Tidak hanya itu, penindakan terhadap korupsi pun juga akan
lebih mudah dilakukan. Setiap transaksi akan lebih mudah dilacak, karena
meninggalkan jejak-jejak digital. Penegak hukum tidak akan kesulitan lagi
mencari bukti-bukti, apabila suatu transaksi diduga terindikasi korupsi. Maka
sampai saat itu terjadi, saya ucapkan selamat datang di dunia digital.
Denpasar, 3 Januari 2016
Dibuat dalam rangka mengikuti
Lomba Menulis Artikel Tingkat Nasional
“Berjemaah Melawan Korupsi”
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar