Sabtu, 23 Januari 2016

Cegah Korupsi Dengan Teknologi


Korupsi. Bagi rakyat Indonesia, kata itu bukanlah sesuatu yang asing. Malah mungkin sudah didengar terlalu sering. Pejabat negara, penegak hukum, politisi, masuk bui jadi pemandangan biasa di televisi. Sebagian besar dari mereka ada dibalik jeruji, karena terjerat kata korupsi ini. Lalu apakah sebenarnya makna dari korupsi?
Secara yuridis, makna korupsi dalam dilihat di undang-undang. Di Indonesia korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, pada Bab II Pasal 2. Makna korupsi menurut pasal ini adalah: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Jadi menurut undang-undang ini, korupsi terdiri dari tiga unsur. Pertama, perbuatan itu melawan hukum. Kedua, perbuatan itu memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Ketiga, perbuatan itu merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Itu secara yuridis, lalu bagaimana makna korupsi secara gramatikal. Korupsi atau rasuah berasal dari bahasa latin, Corruptio. Kata Corruptio sendiri berasal dari kata kerja Corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar-balik, menyogok. Maka tidaklah heran, kalau sogok-menyogok sangat identik dengan kata korupsi ini.
Bagaimana makna korupsi menurut saya sebagai penulis. Makna yang dipandang dari kaca mata orang awam. Menurut saya, korupsi itu tidak lebih dari sebuah transaksi. Korupsi dapat dipandang sebagai proses jual beli. Dalam jual beli, ada dua hal yang berperan yaitu: Penyedia (suplay) dan Perminta (demand). Demikian pun korupsi, menurut saya. Korupsi terjadi karena adanya dua pihak yang bertemu, dimana pihak-pihak tersebut memiliki kepentingan yang sama. Satu pihak sebagai peminta, dan pihak lain sebagai penyedia. Terlepas nantinya ada pihak ketiga sebagai perantara, itu sih lain persoalan. Dua pihak ini akan bertemu dan ber-‘transaksi’. Apabila ‘transaksi’ ini disepakati dan tereksekusi, maka korupsi terjadi. Dan apabila tidak, maka ada yang namanya korupsi.
Ambillah sebuah contoh sederhana. Pegawai A ‘meminta’ bantuan kepada Pegawai B. Kebetulan Pegawai B bertugas dibagian absensi. Bantuan yang dimaksud adalah hendak pulang lebih awal, karena keperluan pribadi. Dalam konteks ini otomatis Pegawai B berstatus sebagai ‘penyedia’. Terjadilah ‘transaksi’ antara keduanya, hingga terjadi kesepakatan. Pegawai A cukup tanda tangan daftar absen manual, dan bisa pulang tanpa ketahuan. Terjadilah korupsi jam kerja disana. ‘Transaksi’ sederhana, tapi mengganggu kinerja. Seandainya pada kasus ini, kita taruh teknologi diantara keduanya tentu ‘transaksi’ seperti ini bisa dicegah. Teknologi yang dimaksud bisa berupa absen sidik jari, atau teknologi absensi model lainnya.
Contoh lainnya, seorang calon pegawai mengikuti tes. Datanglah dia kepada seorang oknum pejabat, yang dapat menjanjikan kelulusan. Maka dalam hal ini si calon pegawai sebagai pihak ‘peminta’, dan si oknum pejabat sebagai ‘penyedia’. ‘Transaksi’ pun terjadi, beserta ‘upeti’ yang harus diserahkan. ‘Transaksi’ ini pun memenuhi unsur-unsur korupsi.  Sebagaimana kasus sebelumnya, bagaimana jika diantara keduanya ditaruh teknologi. Semacam tes dengan sistem online, misalnya. “Transaksi’ keduanya tentu akan bisa dicegah. Hasil tes akan dapat langsung diketahui, sehingga tidak sempat terjadi praktek kong-kali-kong.
Dari kedua contoh sederhana diatas, bisa dilihat peran teknologi cukup signifikan mencegah terjadinya korupsi. Tidak hanya untuk dua kasus tadi, teknologi pun dapat diterapkan kedalam bentuk ‘transaksi-transaksi’ terindikasi korupsi lainnya. Misalnya saja, sistem perijinan satu atap terintegrasi online. Semua permohonan ijin-ijin dikelola oleh satu instansi, baik dipusat maupun didaerah. Data-data permohonan dan kelengkapannya  wajib diajukan secara online, sehingga tercatat dalam server. Dengan demikian pertemuan antara orang dengan orang dapat diminimalisir. ‘Transaksi-transaksi’ diluar sistem pun dapat dicegah. Demikian pula sistem pembayarannya. Pembayaran dilakukan melalui online perbankan. Langsung ditransfer, sehingga tidak dilakukan secara tunai. Keuangan yang masuk pun dapat dikontrol dengan baik, karena tercatat secara digital.
Keberadaan teknologi, meminimalisir pertemuan orang dengan orang. Sebagaimana disebutkan diatas, korupsi itu seperti jual beli. Orang dengan orang akan bertemu untuk ber-‘transaksi’. Apabila pertemuan orang dengan orang ini dapat diminimalisir, maka ‘transaksi-transaksi’ terindikasi korupsi pun bisa dicegah. Hanya saja, agar sistem ini dapat bekerja dengan baik, dibutuhkan teknologi yang benar-benar steril dari campur tangan manusia. Atau paling tidak, teknologi yang seminim mungkin dikelola oleh manusia. Sistem ini haruslah dapat berdiri sendiri, dan keamanan data-datanya harus benar-benar terjaga. Pertanyaannya kini, apakah Indonesia sudah menguasai teknologi semacam ini? Disinilah kelemahan dari sistem ini. Diakui ataupun tidak, penguasaan Indonesia terhadap teknologi masih sangat lemah. Kelemahan ini justru terasa di sentra-sentra pemerintahan, yang menjadi pusat pelayanan masyarakat. Ditempat-tempat inilah justru ‘transaksi-transaksi’ terindikasi korupsi kerap terjadi. Administrasi yang masih bersifat ‘tradisional’-lah yang jadi penyebabnya. Yang dimaksud dengan administasi tradisional, adalah masih bertumpu pada pertemuan orang dengan orang.
Pada Pemilu 2014, Presiden Jokowi dalam kampanye-nya pernah berjanji. Perbaikan sistem birokrasi menyeluruh akan menjadi prioritas. Birokrasi akan disinergikan dengan informasi teknologi. Hanya saja, memang perbaikan birokrasi secara menyeluruh memerlukan waktu yang tidak sebentar. Jangankan memiliki satu jaringan online nusantara, sampai kini Indonesia bahkan belum memiliki data kependudukan tunggal. Program e-KTP katanya akan menuju kearah sana, namun perkembangannya terlihat tidak cukup signifikan. Belum lagi sistem yang terintegrasi online, pasti membutuhkan jaringan internet yang merata. Harus diakui pula bahwa Indonesia belum memiliki jaringan internet yang merata di seluruh nusantara. Sebuah tugas berat Departemen Komunikasi dan Informasi, tentunya.
Semoga beberapa tahun kedepan, Indonesia akan siap memasuki dunia digital. Dengan demikian, komputerisasi dan teknologi akan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Digitalisasi akan menjadi budaya baru masyarakat Indonesia, sehingga data setiap individu akan mudah terlacak. Segala transaksi wajib dilakukan secara online, dalam satu server. Tidak ada lagi sistem birokrasi tradisional, dimana terjadi pertemuan antara orang dengan orang. Dengan demikian pencegahan terhadap korupsi akan lebih mudah dilakukan. Semua akan berjalan dalam sebuah sistem yang rapi, dan terintegrasi. Tidak akan ada lagi tumpang tindih birokrasi sektoral. Tidak hanya itu, penindakan terhadap korupsi pun juga akan lebih mudah dilakukan. Setiap transaksi akan lebih mudah dilacak, karena meninggalkan jejak-jejak digital. Penegak hukum tidak akan kesulitan lagi mencari bukti-bukti, apabila suatu transaksi diduga terindikasi korupsi. Maka sampai saat itu terjadi, saya ucapkan selamat datang di dunia digital.

Denpasar, 3 Januari 2016
Dibuat dalam rangka mengikuti
Lomba Menulis Artikel Tingkat Nasional
“Berjemaah Melawan Korupsi”
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar