Rabu, 22 Februari 2017

Bali United, United For Bali


Saya adalah pencinta sepak bola. Suka menonton saja sih, soalnya main langsung saya kurang bisa. Saya lebih jago bermain tepok bulu, alias bulutangkis. Kalau sekedar menendang bola sih bisa, lebih dari itu... ya sudahlah, tidak usah dibahas.
Sebagai pencinta sepak bola, tentu kiblat tontonan yang asyik adalah liga-liga Eropa. Diantara liga-liga dunia yang ada, Liga Inggris (English Primer League) adalah favorit saya. Persaingan yang ketat, dan berlimpahnya pemain-pemain bola papan atas, membuat liga ini asyik diikuti. Selain karena adanya Manchester United (MU) disana, klub sepak bola jagoan saya. Sebenarnya ada satu lagi liga dunia yang asyik diikuti, yaitu Liga Champion. Hanya saja, sejak dua tahun kebelakang MU absen dalam ajang ini, saya jadi agak malas mengikuti perkembangannya.
Liga dunia memang menarik, namun tetap kita tidak boleh lupa pada liga negeri sendiri. Sebagai orang Indonesia, khususnya orang Bali, klub domestik yang saya dukung adalah Bali United. Sebuah klub sepak bola yang bermarkas di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali. Kali terakhir saya menonton langsung di stadion ini tepat tiga hari yang lalu. Saat itu dipentaskan pertandingan terakhir penyisihan Grup 4 Piala Presiden 2017. Dari dua kali hasil seri pada laga sebelumnya, Bali United dituntut menang di laga terakhir ini, agar bisa lolos ke 8 besar. Lawan kali ini adalah Barito Putra, Banjarmasin. Hal ini yang mendasari saya untuk menonton langsung ke stadion. Bahkan saya menonton dari Tribun Timur, Gate 8 Reguler, agar bisa bergabung dengan ratusan suporter lainnya. Merasakan langsung atmosfer stadion, dan keramaian yang ada disana. Biasanya saya menonton dari Tribun VIP, yang menurut saya suporternya agak sedikit jaim.

Stadion Dipta, Gianyar

Niat hati akan disajikan pertandingan seru, yang ada malah kebalikannya. Bali United bermain bak sekumpulan orang kebingungan. Salah umpan sering terjadi, koordinasi antar lini kaca balau. Teriakan kesal para suporter kerap terdengar dari tempat saya berada. Hal ini makin diperparah ketika Barito Putra justru unggul terlebih dahulu. Kami hanya terhibur saat Ahn Byungkeon mencetak gol penyama kedudukan. Suara yel-yel dan nyanyian berkumandang hampir diseluruh penjuru stadion. Namun itu hanya berlangsung sebentar, karena suporter kembali kehilangan gairah melihat gol susulan tidak kunjung datang. Ketika disangka pertandingan akan berakhir seri untuk ketiga kalinya, Barito Putra mencetak gol di menit-menit akhir. Pupuslah harapan Bali United lolos ke babak berikutnya. Teriakan kekecewaan dan ejekan pun pecah. Nyanyian seperti, “Kapan, kapan, kapan menangnya? Kapan menangnya Bali United?” berkumandang di kalangan suporter. Mereka kecewa, mereka marah. Bahkan ada suporter yang melempar kembang api ke lapangan. Beruntung panitia dan aparat keamanan sigap menenangkan situasi. Dibantu pula oleh para pemain dan official Bali United yang berjalan berkeliling menenangkan suporter, sekaligus menyampaikan permohonan maaf mereka.


Terlepas dari kekalahan ini, saya harus tetap bersyukur dengan keberadaan Bali United. Dengan adanya klub sepak bola ini, saya dapat merasakan atmosfer sepak bola yang nyata. Tidak hanya sebatas tontonan di layar kaca. Sensasi menonton langsung di stadion harus saya akui sangat berbeda dengan tontonan layar kaca. Di stadion ada interaksi nyata, antara sesama penonton, pemain, offical dan pendukung acara lainnya. Ada aura yang nyata disana. Cakupan pandangan kita pun lebih luas, tidak hanya sebatas apa yang ditangkap oleh kamera televisi. Di stadion kita bisa melihat kiper berteriak-teriak kepada deretan pemain bertahan. Kita bisa melihat bagaimana koordinator lini belakang memberi komando agar tercipta jebakan offside. Kita juga bisa melihat pergerakan striker tanpa bola, jauh sebelum bola dikirim kepada mereka. Bahkan ada kalanya muncul kejadian lucu seperti anak gawang yang terpleset saat melempar bola. Hal-hal seperti ini kadang tidak tertangkap lensa kamera. Maka dari itu saya sangat bercinta-cita untuk merasakan langsung atmosfer stadion-stadion dunia. Harapan paling besar tentu stadion Old Trafford, yang katanya punya suporter paling ‘berisik’ sedunia. Namun, kalau pun tidak Old Trafford, stadion-stadion lainnya seperti Santiago Bernabeu, San Siro, ataupun Allianz Arena pun tidak apa-apa.


Terlepas lagi dari hasil kekalahan, Bali United telah berhasil mempersatukan Bali. Paling tidak para pencinta sepak bola di berbagai daerah di Bali. Mereka datang tidak hanya dari Gianyar, ada yang datang dari Badung, Tabanan, Klungkung, Bangli, Singaraja, Karangsem, dan Denpasar tentunya. Bahkan diantara suporter yang datang, ada pula yang berasal dari luar Bali, termasuk suporter mancanegara. Sesuatu hal yang patut dibanggakan. United for Bali, itulah yang terjadi. Tidak ada lagi yang namanya kedaerahan, tidak ada lagi SARA, semuanya bersatu pada dalam satu panji, Bali United. Memang harus diakui saat ini, kiprah Bali United di ajang sepak bola Indonesia belum begitu bertaji. Belum ada Piala bergengsi yang bisa diraih. Namun semua butuh waktu, butuh kesabaran. Bahkan MU dibawah Sir Alex Ferguson pun harus bersabar puluhan tahun demi trophi pertama mereka. Mari kita semua dukung terus Bali United. Seperti kata-kata legendaris Sir Alex Ferguson, ‘If you can’t support us when we lose, don’t support us when we win.” Kalau anda tidak bisa mendukung kami saat kami kalah, maka jangan dukung kami saat kami menang.
Maju terus dan raih kejayaan, Bali United!
.
Denpasar, 21 Februari 2017
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar