Saya
adalah pencinta sepak bola. Suka menonton saja sih, soalnya main langsung saya
kurang bisa. Saya lebih jago bermain tepok bulu, alias bulutangkis. Kalau sekedar
menendang bola sih bisa, lebih dari itu... ya sudahlah, tidak usah dibahas.
Sebagai
pencinta sepak bola, tentu kiblat tontonan yang asyik adalah liga-liga Eropa. Diantara
liga-liga dunia yang ada, Liga Inggris (English
Primer League) adalah favorit saya. Persaingan yang ketat, dan berlimpahnya
pemain-pemain bola papan atas, membuat liga ini asyik diikuti. Selain karena
adanya Manchester United (MU) disana, klub sepak bola jagoan saya. Sebenarnya
ada satu lagi liga dunia yang asyik diikuti, yaitu Liga Champion. Hanya saja, sejak
dua tahun kebelakang MU absen dalam ajang ini, saya jadi agak malas mengikuti
perkembangannya.
Liga
dunia memang menarik, namun tetap kita tidak boleh lupa pada liga negeri
sendiri. Sebagai orang Indonesia, khususnya orang Bali, klub domestik yang saya
dukung adalah Bali United. Sebuah klub sepak bola yang bermarkas di Stadion
Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali. Kali terakhir saya menonton langsung di
stadion ini tepat tiga hari yang lalu. Saat itu dipentaskan pertandingan terakhir
penyisihan Grup 4 Piala Presiden 2017. Dari dua kali hasil seri pada laga
sebelumnya, Bali United dituntut menang di laga terakhir ini, agar bisa lolos
ke 8 besar. Lawan kali ini adalah Barito Putra, Banjarmasin. Hal ini yang
mendasari saya untuk menonton langsung ke stadion. Bahkan saya menonton dari
Tribun Timur, Gate 8 Reguler, agar bisa bergabung dengan ratusan suporter lainnya.
Merasakan langsung atmosfer stadion, dan keramaian yang ada disana. Biasanya
saya menonton dari Tribun VIP, yang menurut saya suporternya agak sedikit jaim.
Stadion Dipta, Gianyar |
Niat hati
akan disajikan pertandingan seru, yang ada malah kebalikannya. Bali United
bermain bak sekumpulan orang kebingungan. Salah umpan sering terjadi,
koordinasi antar lini kaca balau. Teriakan kesal para suporter kerap terdengar
dari tempat saya berada. Hal ini makin diperparah ketika Barito Putra justru
unggul terlebih dahulu. Kami hanya terhibur saat Ahn Byungkeon mencetak gol penyama
kedudukan. Suara yel-yel dan nyanyian berkumandang hampir diseluruh penjuru
stadion. Namun itu hanya berlangsung sebentar, karena suporter kembali
kehilangan gairah melihat gol susulan tidak kunjung datang. Ketika disangka
pertandingan akan berakhir seri untuk ketiga kalinya, Barito Putra mencetak gol
di menit-menit akhir. Pupuslah harapan Bali United lolos ke babak berikutnya. Teriakan
kekecewaan dan ejekan pun pecah. Nyanyian seperti, “Kapan, kapan, kapan
menangnya? Kapan menangnya Bali United?” berkumandang di kalangan suporter. Mereka
kecewa, mereka marah. Bahkan ada suporter yang melempar kembang api ke lapangan.
Beruntung panitia dan aparat keamanan sigap menenangkan situasi. Dibantu pula oleh
para pemain dan official Bali United yang
berjalan berkeliling menenangkan suporter, sekaligus menyampaikan permohonan maaf
mereka.
Terlepas
dari kekalahan ini, saya harus tetap bersyukur dengan keberadaan Bali United.
Dengan adanya klub sepak bola ini, saya dapat merasakan atmosfer sepak bola
yang nyata. Tidak hanya sebatas tontonan di layar kaca. Sensasi menonton
langsung di stadion harus saya akui sangat berbeda dengan tontonan layar kaca. Di
stadion ada interaksi nyata, antara sesama penonton, pemain, offical dan pendukung acara lainnya. Ada
aura yang nyata disana. Cakupan pandangan kita pun lebih luas, tidak hanya
sebatas apa yang ditangkap oleh kamera televisi. Di stadion kita bisa melihat
kiper berteriak-teriak kepada deretan pemain bertahan. Kita bisa melihat
bagaimana koordinator lini belakang memberi komando agar tercipta jebakan offside. Kita juga bisa melihat
pergerakan striker tanpa bola, jauh
sebelum bola dikirim kepada mereka. Bahkan ada kalanya muncul kejadian lucu
seperti anak gawang yang terpleset saat melempar bola. Hal-hal seperti ini
kadang tidak tertangkap lensa kamera. Maka dari itu saya sangat bercinta-cita
untuk merasakan langsung atmosfer stadion-stadion dunia. Harapan paling besar
tentu stadion Old Trafford, yang katanya punya suporter paling ‘berisik’
sedunia. Namun, kalau pun tidak Old Trafford, stadion-stadion lainnya seperti
Santiago Bernabeu, San Siro, ataupun Allianz Arena pun tidak apa-apa.
Terlepas
lagi dari hasil kekalahan, Bali United telah berhasil mempersatukan Bali.
Paling tidak para pencinta sepak bola di berbagai daerah di Bali. Mereka datang
tidak hanya dari Gianyar, ada yang datang dari Badung, Tabanan, Klungkung, Bangli,
Singaraja, Karangsem, dan Denpasar tentunya. Bahkan diantara suporter yang
datang, ada pula yang berasal dari luar Bali, termasuk suporter mancanegara. Sesuatu
hal yang patut dibanggakan. United for
Bali, itulah yang terjadi. Tidak ada lagi yang namanya kedaerahan, tidak
ada lagi SARA, semuanya bersatu pada dalam satu panji, Bali United. Memang harus
diakui saat ini, kiprah Bali United di ajang sepak bola Indonesia belum begitu
bertaji. Belum ada Piala bergengsi yang bisa diraih. Namun semua butuh waktu, butuh
kesabaran. Bahkan MU dibawah Sir Alex Ferguson pun harus bersabar puluhan tahun
demi trophi pertama mereka. Mari kita semua dukung terus Bali United. Seperti
kata-kata legendaris Sir Alex Ferguson, ‘If
you can’t support us when we lose, don’t support us when we win.” Kalau
anda tidak bisa mendukung kami saat kami kalah, maka jangan dukung kami saat
kami menang.
Maju
terus dan raih kejayaan, Bali United!
.
Denpasar, 21 Februari 2017
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar