Infinity War |
Kalau
anda mengaku penggemar film-film superhero
Marvel, pastinya tidak akan melewatkan Avengers: Infinity War. Sebuah film yang
‘menumpuk’ semua jagoan dalam satu frame.
Tidak semuanya sih, karena saya catat ada beberapa yang absen. Sebut saja Hawkeye
dan Ant-Man. Entah kenapa keduanya tidak hadir dalam perang. Mungkin karena ijin
istri melahirkan, acara keluarga, sakit flu, atau ambil sisa cuti tahunan?
Entahlah, kurang dijelaskan sebab pastinya. Di luar absennya dua superhero tadi, Infinity War adalah film
yang keren. Beneran, sumpah.
Memberi predikat
keren bukan karena saya fans Marvel.
Ada pula film Marvel yang saya kurang sukai. Misalnya Guardian of Galaxy Vol. 2
dan Thor Ragnarok. Kedua film ini menurut saya terlalu childish. Lelucon-leluconnya juga terlalu receh. Untungnya kemudian rilis Black Panther. Film ini mengembalikan
muruah Marvel ke jalan yang benar.
Sempat saya
turunkan ekspektasi sebelum menonton. Berpikir bagaimana Marvel akan mengatur alur
dengan sedemikian banyak ‘nama besar’. Penambahan durasi, itu sih sudah pasti.
Mengingat kini Infinity War menjadi film Marvel dengan durasi terpanjang. Panjangnya
durasi juga jadi faktor penurunan ekspektasi. Apa nanti tidak bosan duduk di
bioskop selama itu? Dan pemikiran lainnya. Seperti naksir cewek cantik, tetapi nggak yakin kita ada di level yang sama.
Ya sudah, turunin ekspektasi, biar nggak kecewa-kecewa amat.
Hasilnya
setelah menonton? Saya dibuat takjub. Gila nih Marvel, they did a fantastic job with this movie. Empat jempol. Transisi
antara satu scene ke scene berikutnya mulus banget. Jatah
kemunculan setiap superhero terasa
pas. Aksi bag, bug, bag, bug dijamin yahud. Bumbu-bumbu kocaknya terasa maknyus. Tampilan CGI (computer-generated image) mempesona,
tidak suram seperti tetangga sebelah. Adegan dewasanya minim. Sangat aman bila
anda ingin mengajak anak ikut nonton. Malah waktu saya datang, kapastitas
bioskop hampir setengahnya diisi anak-anak. Situasi yang bikin pengen punya
anak. Cuma yah gitu, bikinnya sama
siapa?
Satu lagi
yang saya kagum. Penjahat di film ini mantap abis. Thanos, namanya. Ini baru penjahat namanya. Tidak seperti
penjahat-penjahat lain, yang gagah di awal tapi letoy di akhir. Bag, bug,
bag, bug bentar, eh tau-tau mati. Oh tidak, Thanos tidak seperti itu. Dia kuat, gagah perkasa, dan
sakti mandraguna. Tidaklah segampang itu untuk membunuhnya. Paling tidak, waktu
2 jam 40 menit belumlah cukup. Saya adalah pengagum penjahat yang berkarakter (halah, berkarakter...). Penjahat yang
punya alasan kuat untuk menjadi jahat. Malah kita bisa dibuat berpikir, kalau
kita ada di sisi dia, kita pun pasti memilih jalan yang sama.
Thanos
lahir di Planet Titan, sebuah planet dengan problema over capacity. Penghuninya sudah melebihi sumber alam yang ada.
Sempat Thanos melontarkan ide genosida
masal, namun ide ini ditolak. Akhirnya planet itu musnah dengan sendirinya. Thanos
tidak ingin planet-planet lain di galaksi ini bernasib seperti planetnya. Maka
ketika ada planet yang juga over capacity,
dia akan datang dan memusnahkan separuh dari penghuni yang ada. Sialnya, Bumi
jadi salah satu planet yang masuk kategori Thanos. Ini pulalah yang menjadi
alasan Thanos mengumpulkan infinity stone.
Senjata untuk menghadapi siapa pun yang ingin menghalangi niatnya. Saya jadi
ingat ‘penjahat’ di film Inferno. Dia punya pemikiran yang sama dengan Thanos,
hanya cara yang dipakai adalah lewat penyebaran virus.
Balik ke
pertanyaan, apakah Thanos jahat? Menurut saya sih tidak. Saya termasuk yang percaya, kalau manusia adalah salah
satu virus bagi Bumi. Kalau jumlahnya sedikit ya tidak apa-apa, tapi kalau jumlahnya terus bertambah maka Bumi
akan ‘sakit’. Ibarat tikus di atas rumah anda. Kalau cuma ada satu atau dua
mungkin anda bisa cuek. Namun, kalau mereka terus beranak pinak, apa yang akan
anda lakukan? Membunuh dengan racun atau membiarkan mereka berkeliaran dengan
liar? Kalau memilih membunuh mereka, apakah anda bisa dikatakan jahat? Seperti
yang Thanos katakan, kalau dia hanya ingin menciptakan keseimbangan bagi alam
semesta. Populasi yang terlalu besar bisa merusak keseimbangan.
Seperti
saya katakan di awal. Jahat dan baik, sangat tergantung dari sisi mana anda
melihatnya. Thanos sama seperti kita-kita. Punya rasa, punya hati. Bahkan
Thanos adalah penikmat senja. Sungguh melankolis. Kalau anda sudah menonton
filmnya, anda pasti akan tahu maksud saya.
Pertanyaan
lain, katanya di film ini ada yang mati? Siapa saja? Gini deh. Ngumpulin aktor
dan artis papan atas di dalam satu frame itu
butuh duit, yang nggak sedikit. Kalau
satu film bolehlah, itung-itung unjuk
gigi, gue horang kayah. Kalau dua
film, dan film-film berikutnya ya pikir-pikir dong. Maka ‘membunuh’ beberapa nama
menjadi pilihan, guna memangkas anggaran. Soal siapa yang hidup dan siapa yang
mati, mari serahkan pada yang maha kuasa. Marvel, sang sutradara, dan penulis
cerita. Kalau begitu apakah mereka bisa dikatakan jahat? Tidak, mereka
melakukan itu demi menciptakan keseimbangan (neraca keuangan).
Kesimpulan,
Invinity War adalah sebuah film mengenai insting bertahan hidup. Ketika sebuah
populasi makhluk hidup mendapat ancaman, mereka akan mempertahankan diri. Thanos
adalah ancaman, Avengers berjuang demi kelangsungan hidup manusia. Simple, namun dikemas dengan sangat futuristik.
Saya rasa
cukup segitu saja review ini ditulis.
Seperti biasanya, saya tidak ingin tulisan ini jadi spoiler. Anda harus merasakan sendiri sensasi Bharatayudha ala Marvel ini. Terakhir selamat menonton, dengan
siapapun anda menontonnya nanti.
.
Simpang Siur, 4 Mei 2018
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar