Kira-kira
akan kemana Indonesia beberapa tahun ke depan? Pertanyaan yang mengawali
diskusi siang itu di Indus Restaurant, Capuhan, Ubud. Sebuah main program Ubud
Writers and Readers Festival (UWRF) 2017, tanggal 26 Oktober 2017. Pertanyaan
ini dimunculkan terkait beberapa isu hangat yang bergulir belakangan ini. Sebut
saja yang paling terbaru, pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas), pada tanggal 24 Oktober
2017. Selain itu dibahas pula ancaman perpecahan, terkait isu-isu agama dan
SARA.
Sebagai
moderator dari diskusi berjudul ‘Tanah Airku’ ini ditunjuk Andreas Harsono,
seorang pegiat jurnalisme sekaligus aktivis hak asasi manusia. Sedangkan panelis
ada tiga orang, yaitu: Ni Luh Djelantik (pengusaha sekaligus pegiat sastra),
Sakdiyah Ma’ruf (komedian), dan Joko Pinurbo (penyair), yang hadir untuk
membacakan puisi di akhir sesi.
Moderator
mengatakan kehadiran ketiga panelis ini cukup mewakili keberagaman Indonesia.
Ni Luh Djelantik mewakili orang Bali yang beragama Hindu, yang sangat mayoritas
di Bali tetapi minoritas di Indonesia. Sakdiyah Ma’ruf mewakili warga keturunan
Arab yang minoritas, tetapi beragama Islam yang mayoritas di Indonesia. Dan Joko
Pinurbo mewakili keturunan Jawa yang mayoritas, tetapi beragama Kristen yang
minoritas.
Diskusi dimulai dengan
pertanyaan, “Setelah terjadi ‘pemanfaatan’ isu agama dalam pemilihan kepala
daerah, dan pengesahan Perppu Ormas. Mau dimana kenapa Indonesia ke depan?” Ni
Luh menjawab, ancaman terhadap separatisme di Indonesia sudah sangat nyata. Dia
mencontohkan bagaimana isu-isu agama dan SARA begitu masif terjadi selama
berlangsungnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta. Isu-isu yang akhirnya
menjebloskan Ahok, Gubernur petahana, ke penjara. Beruntung Pemerintah bisa
meredam isu-isu ini sehingga tidak menyebar ke seluruh daerah di Indonesia.
Pancasila terbukti kembali bisa menjadi filter untuk menjaga persatuan dan
kesatuan Bangsa. Tahun depan Indonesia mulai masuk tahun-tahun politik, semoga
Indonesia masih tetap bisa bersatu dalam keberagaman, tutup Ni Luh.
Sakdiyah
mencoba menanggapi pertanyaan tersebut dengan sederhana. Dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan di ajang UWRF 2017 ini, kita masih saja saling berkirim-kirim
salah dengan cara terkotak-kotak. Misalnya Muslim dengan “Assalamualaikum”,
Hindu dengan “Om Swastiastu”. Memang itu bertujuan untuk menghormati
keberagaman sesama, namun di sisi lain hal itu justru kian pula mempertajam
keberagaman. Kenapa kita tidak mulai saling memberi salam dengan cara yang
lebih universal, seperti cukup saja “Selamat Pagi” atau “Selamat Siang”,
sepertinya itu akan lebih menyatukan kita, tanpa memandang dari mana kita
berasal dan apa agama kita.
Pada satu
kesempatan, Ni Luh juga berkomentar tentang sedihnya dia terhadap kondisi
negara Indonesia. Bagaimana orang-orang baik yang tulus mengabdi untuk
Indonesia, justu dimusuhi oleh sebagian besar ‘oknum-oknum’ politisi.
Seolah-olah kalau kita menjadi orang baik dan jujur di Indonesia, justru kita
jadi sendirian dan punya sedikit teman. Namun, Ni Luh tetap memiliki keyakinan
kalau Indonesia akan bisa menjadi negara yang maju ke depannya.
Sebagai
anak muda, Sakdiyah, mencoba mengutip lagu dari grup musik The Beatles. Kutipan
tersebut adalah “All We Need Is Love”. Sebenarnya yang Indonesia
butuhkan hanyalah cinta. Memang kadang cinta itu konsep yang abstrak, dan
kadang terlalu dilebih-lebihkan (overrated), namun itulah sesungguhnya
dibutuhkan oleh Indonesia. Pemimpin yang cinta rakyatnya, rakyat yang cinta
bangsanya. Kalau hal itu bisa terwujud, maka ke depan kondisi Indonesia akan
jauh lebih baik dari sekarang.
Uniknya
di sela-sela diskusi, ada seorang peserta luar negeri yang menyeletuk. Dia
mengatakan kalau Indonesia sudah memiliki modal yang bagus bernama Pancasila.
Bahkan dia merasa iri dengan warisan luar biasa tersebut, yang tidak dimiliki
oleh negaranya. Dirinya merasa Indonesia hanya perlu menjaga nilai-nilai
Pancasila dengan baik, dan melaksanakannya dalam keseharian. Namun kini
pertanyaannya, “Siapa yang menjadi penjaga Pancasila di Indonesia? Apakah masih
ada di jaman sekarang ini?”
Moderator
dan para panelis dibuat terenyuh oleh pernyataan tersebut. Bagaimana justru
orang di luar Indonesia bisa begitu tahu tentang Pancasila, ketimbang diri kita
yang ada di Indonesia. Mereka pun tidak tidak bisa menjawab pertanyaan
tersebut, selain hanya berdoa kalau di luaran sana masih banyak tersisa para
penjaga-penjaga nilai Pancasila.
Sesi
diskusi kemudian ditutup dengan dua buah puisi, yang dibacakan oleh Joko
Pinurbo. Judul puisi tersebut adalah “Pemeluk Agama” dan “Dur Rahman”. Dimana
syair dari puisi “Pemeluk Agama” sedikit menggelitik. Menyindir mereka-mereka
yang mengakui pemeluk agama, namun justru menggunakan agama sebagai alat demi
mencapai kepuasan pribadi.
Gianyar, 27 Oktober 2017.
Liputan ini ditulis untuk
Good News From Indonesia.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar