Press Call |
Ajang
Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), diselenggarakan kembali pada tanggal
25 - 29 Oktober 2017 ini. Memasuki periodenya yang ke-14, ajang tahunan ini masih
mengambil tempat di Capuhan, Ubud, Gianyar. Di hari pertama, panitia
penyelenggara mengundang media lokal, nasional, dan internasional, untuk hadir dalam
kegiatan press call. Kegiatan ini
bertujuan untuk mensosialisasikan kegiatan UWRF 2017 secara lebih luas. Pada
kesempatan ini, Tim Good News For Indonesia (GNFI) pun turut hadir, di Warwick
Ibah Luxury Villas & Spa Campuhan, sebagai tempat pelaksanaan acara.
Hadir
pada acara press call ini, antara
lain: Pierre Coffin (sutradara sekaligus pengisi suara dari film animasi Despicable Me dan Minions), Jung Chang (penulis buku bestseller Wild Swans), Joko Pinurbo (penyair ternama Indonesia),
dan Sakdiyah Ma’ruf (standup comedian
wanita muslim pertama di Indonesia). Turut pula hadir pada acara ini Ketut
Suardana (Pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati), serta Janet Deneefe (Pendiri sekaligus
Direktur dari UWRF).
Tahun ini
ajang UWRF mengambil tema ‘Sangkan Paraning Dumadi’. Ketut Suardana, sebagai
pembicara pertama, memaparkan latar belakang dari pemilihan tema tersebut. Keinginan
untuk mengajak manusia kembali ke jati diri sendiri adalah alasannya. Sebuah
filosofi yang mendalam untuk hidup dengan baik, sehingga memperoleh kematian
yang baik pula.
“Kematian adalah awal dari
proses kehidupan, bukan akhir. Kehidupan itu sendiri adalah sebuah keabadian.
Untuk itu perlu dipahami makna kehidupan Catur Purusa Artha, yaitu Dharma,
Artha, Kama, Moksa. Dharma atau kebenaran, adalah pondasi hidup paling dasar
guna mencapai Moksa atau menyatu dengan sang Pencipta. Itulah jati diri sejati
dari hidup manusia,” papar Ketut.
Untuk
itulah tujuan ajang UWRF tahun ini diselenggarakan. Acara dan kegiatan
pendukung yang akan mengisi jadwal UWRF, sebagian besar berpegangan pada tema
dasar tersebut.
Berbeda
dengan Ketut, Janet Deneefe lebih menekankan pada rasa syukur UWRF tahun ini
bisa berjalan sesuai rencana. Awalnya muncul pertimbangan untuk menunda pelaksanaan
ajang ini, mengingat kondisi Gunung Agung yang belum menentu. Mempertimbangkan
bahwa selama ini UWRF membawa dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian
dan pariwisata Bali, maka panitia memilih untuk tetap melangkah.
Janet
juga menilik bagaimana UWRF pertama kalinya terselenggara di tahun 2004. Kala
itu Bali sedang diguncang tragedi terorisme. Ajang tahunan ini turut
berkontribusi terhadap kebangkitan pariwisata Bali. Begitu pula saat terjadi
tragedi terorisme kedua. Itulah yang membuat seluruh tim menguatkan diri agar
UWRF tetap diadakan tahun ini, sekaligus menunjukkan kepada dunia kalau kondisi
Bali masih aman.
Joko
Pinurbo, sebagai pembicara ketiga, mengajak untuk mencintai bahasa Indonesia. Jangan
pernah merasa inferior dengan bahasa negara lain, begitu dia memulai paparan. Nenek
moyang bangsa Indonesia mewariskan bahasa yang sangat beragam. Ibarat harta
karun yang berlimpah, masih banyak sekali kekayaan bahasa nusantara yang belum
tergali. Bahkan pada kesempatan tersebut, Joko membacakan salah satu dari sajak
ciptaannya, ‘Kamus Kecil’. Sebuah sajak yang merupakan bagian dari karya
terbarunya yang berjudul ‘Buku Latihan Tidur’. Dia membacakan sajak ini untuk
menunjukkan kalau beberapa kata dalam bahasa Indonesia, ada kalanya tidak bisa
diterjemahkan ke bahasa asing. Akan terasa janggal kalau hal itu tetap
dilakukan.
“Patut
disyukuri UWRF tahun ini memberi kesempatan bagi penulis dan penyair lokal Indonesia.
Maka hendaknya ajang ini dimanfaatkan untuk mengenalkan bahasa Indonesia. Mari
kita buat negara lain yang justru terkagum-kagum dengan keindahan bahasa
Indonesia, sehingga membuat mereka tertarik untuk mempelajari bahasa kita,”
ucap Joko saat mengakhiri paparannya.
Tiba pada
kesempatan pembicaraan keempat, Piere Coffin. Sebagai sutradara dan pengisi
suara dari salah satu film animasi terlaris di dunia, Piere hanya berpesan “lakukan
apa yang ingin kamu lakukan, maka kamu akan menikmatinya.” Sebagaimana dirinya
yang membuat film Despicable Me,
dengan tokoh-tokoh Minions. Piere
mengaku hanya ingin membuat film yang bisa dinikmati oleh berbagai kalangan,
sederhana, dan jujur apa adanya. Bahkan dia berkelakar kalau tokoh Bob di film Minions sangat menggambarkan dirinya.
Pernyataan ini memancing tawa dari yang hadir.
Jung
Chang, sebagai pembicara kelima, memulai paparan dengan berkilas balik ke
kehidupan masa kecilnya. Jung yang hidup di China, di masa kepemimpinan kaisar
Mao, sempat mengalami bagaimana kebebasan berekspresi sangat terbatas. Pada
masa tersebut penulis dianggap sebagai profesi yang sangat berbahaya, dengan
ancaman hukuman penjara sampai hukuman mati. Hanya saja Jung mengaku kalau menulis
adalah dorongan hatinya, sehingga mau tidak mau dia menulis secara diam-diam. Pernah
saat usianya 16 tahun, prajurit kerajaan melakukan sidak ke rumahnya. Terpaksa
dia harus membuat semua karyanya ke toilet, agar tidak sampai tertangkap.
“Bagi
saya menulis itu adalah sebuah proses eksplorasi, data dan fakta. Itulah kenapa
saya tidak pernah bisa menulis di media sosial yang dibatasi ruang dan
karakter. Itulah pula kenapa saya lebih memilih untuk menulis dalam bentuk
otobiografi, dimana salah satunya ya karya saya yang berjudul ‘Wild Swans’,”
ujar Jung.
Berakhirnya
masa pemerintahan kaisar Mao, merupakan titik balik kehidupan Jung. China yang
mulai membuka diri terhadap dunia luar, memberikan Jung kesempatan untuk
belajar ke London dengan memakai beasiswa. Disinilah hasrat menulisnya mulai
bangkit kembali. Dia pun tidak lupa mengingatkan agar jangan pernah menyerah
untuk menulis.
Sakdiyah
Ma’ruf, sebagai pembicara terakhir, memulai pemaparannya dengan mengungkapkan
pengalaman diri sebagai wanita yang lahir di keluarga muslim yang konservatif. Bagaimana
wanita tidak memiliki hak untuk menampilkan diri di publik. Kekangan ini
membuat dirinya ingin ‘berontak’ dari budaya tersebut. Bahkan, saat berada di
luar pun terkadang dirinya masih mendapat diskriminasi yang sama. Inilah yang
membuat Sakdiyah memilih jalur profesi stand
up comedy. Melalui profesi ini, dia bisa mengajak orang lain untuk ikut
menertawakan tradisi-tradisi yang dia nilai terlalu ortodoks dan tradisional. Mengajak orang lain untuk berpikir dengan
pola pikir yang berbeda. Selama ini dirinya merasa usaha ini cukup berhasil.
Sebagai
penutup, saat ditanya oleh Tim GNFI, Janet mengajak semua kalangan untuk datang
ke ajang UWRF tahun ini. Selain mengangkat tema yang sangat kental nilai filosofinya,
beberapa pembicara dan pengisi acara baru pun turut hadir. Seluruh rangkaian
acara dapat dilihat langsung melalui website
resmi UWRF 2017, demikian tutupnya.
UWRF 2017 Resmi Dibuka Di Puri Agung Ubud
Malam
harinya, sekitar pukul tujuh malam, Tim GNFI diundang untuk ikut menghadiri
Official Gala Opening UWRF 2017. Acara diselenggarakan di Puri Agung Ubud,
Gianyar. Dihadiri oleh pejabat nasional dan daerah, pengisi acara, media, pihak
sponsor, serta perwakilan keluarga Puri Agung sebagai tuan rumah.
Nh. Dini |
Saat
memberi sambutan, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, selaku tuan rumah
pelaksanaan kegiatan UWRF 2017, menitipkan pesan kepada seluruh peserta yang
datang. Artha mengajak seluruh penulis dan media, pada kesempatan apapun untuk
ikut berpartisipasi guna mengabarkan kondisi Bali yang masih sangat aman,
meskipun saat ini ada ancaman alam dari Gunung Agung.
Pada acara
Gala Opening ini pula turut diserahkan Lifetime
Achievement Award, kepada legenda hidup sastra Indonesia, Nurhayati
Srihardini Siti Nukatin atau lebih dikenal dengan Nh. Dini. Seorang penulis
wanita yang ikut aktif memajukan dunia sastra Indonesia sejak tahun 1950-an,
dengan karya-karyanya ‘Pada Sebuah Kapal’, ‘Pertemuan Dua Hati’, dan lainnya.
Anugerah ini diserahkan langsung oleh Janet Deneefe, selaku Direktur UWRF.
Pada
sambutannya, Janet menilai kalau karya-karya Nh. Dini telah menginspirasi para
wanita Indonesia untuk ikut terjun sebagai penulis. Dimana pada masa tersebut sangat
sedikit sekali wanita yang aktif untuk menulis. Pertimbangan inilah yang
mendasari UWRF untuk memberikan bentuk penganugerahan ini. Anugerah Lifetime Achievement Award ini merupakan
pemberian kali kedua, setelah tahun 2010 diberikan pula kepada Sitor
Situmorang.
Gala
Opening kemudian ditutup dengan penampilan tari Hana Maya. Sebuah tarian yang
biasa dipentaskan di Puri Agung Ubud pada acara-acara besar. Sebuah tarian yang
bercerita tentang dua dunia. Sesuai dengan nama tarian tersebut, ‘Hana’ yang
berarti kasat mata dan ‘Maya’ yang berarti dunia yang tak kasat mata.
Denpasar, 25 Oktober 2017.
Liputan ini ditulis untuk
Good News From Indonesia.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar